Jakarta, Aktual.com – Mungkin sedikit orang yang tahu, jika hari ini 16 Oktober adalah hari parlemen Indonesia. Lembaga yang menjadi corong suara rakyat itu diperingati hari ini. Kontrol kebijakan-kebijakan pemerintah, idealnya dapat terwakilkan dari lembaga ini. Karena parlemen merupakan bagian penting dari trias politica, maka berharap agar lembaga ini selalu kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, adalah hal yang tepat untuk diutarakan. Khususnya pada momen peringatan hari parlemen ini.

Sengaja saya awali tulisan ini dengan soal peringatan hari parlemen. Sebagai salah satu upaya mengingatkan para anggota parlemen kita, bahwa hari ini kita memiliki satu persoalan besar yang butuh suara-suara kritis dari parlemen. Yakni soal situasi ekonomi nasional yang akhir-akhir ini terasa mulai bergejolak. Tepatnya pada rentang waktu 3 tahun belakangan, dengan semua kebijakan-kebijakan pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Namun sebelum jauh membahas soal situasi ekonomi nasional, saya ingin membahas sebab-sebab Yunani bisa menjadi negara bangkrut. Karena ini penting untuk dijadikan refleksi bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Agar kemudian kita tidak menjadi Yunani kedua.

Saat ini, Ekonomi Yunani tengah berdarah-darah. Rasio utang mereka jauh melebihi pendapatan negara. Kabarnya, rasio hutangnya mencapai 160%. Banyak faktor yang melatarbelakangi tingginya rasio utang itu, diantaranya yakni korupsi pada Penyelengaraan Olimpiade Athena 2004, yang sebelumnya dianggarkan 9 milyar dolar, ternyata membengkak hingga 15 an milyar dolar. Lalu adanya defisit anggaran yang demikian besar, antara uang masuk dan uang keluar tidak seimbang. Uang keluar jauh melebihi pendapatan negara.

Berbagai upaya penyelamatan dilakukan oleh Pemerintah Yunani, mulai dari menaikkkan pajak, memangkas jaminan sosial, hingga menambah hutang ke European Central Bank (ECB) dan IMF.

Namun alih-alih ekonomi bisa bangkit, pasca menambah utang Yunani justru semakin terpuruk. Karena rasio hutang terus membesar dan sulit untuk dikejar. Kekacauan nasional tak bisa dibendung, seiring dengan menipisnya persediaan keuangan negara. Rakyat mulai berpikir untuk menyelamatkan uang mereka. Sehingga mereka ramai-ramai menarik deposit di bank-bank Yunani, namun bank-bank Yunani memberikan batasan atas jumlah penarikan, sehingga hal ini pun semakin memicu ketegangan nasional di Yunani dan menarik perhatian Internasional. Sehingga banyak pakar ekonomi makro dan juga media, yang mengatakan negara ini sebagai negara bangkrut.
Peringatan bagi Indonesia

Kalau kita lihat secara makro, semua kekacauan yang terjadi di Yunani itu akibat ketidakberdayaan pemerintah dalam mengendalikan rasio utang. Biaya yang dikeluarkan negara cenderung tidak sebanding dengan pendapatan negara. Sehingga hal ini berimplikasi terhadap situasi ekonomi mereka.

Kasus Yunani ini, sedikit banyak nyaris memiliki banyak kesamaan dengan situasi Indonesia. Dimana ambisi pemerintah Jokowi-JK dalam melakukan pembangunan infrastruktur, cenderung tidak berbanding lurus dengan laporan keuangan lembaga-lembaga keuangan kita dan juga BUMN, dimana hampir mayoritas tengah mengalami defisit atau kerugian. Walaupun pemerintah membahasakan sebagai BUMN yang “sakit”, bukan rugi. Tapi apalah itu, bagi saya hanya sebagai permainan kata-kata. Untuk mengaburkan situasi yang sebenarnya terjadi. Demi mengkondisikan emosi publik.

Kebutuhan akan biaya pembangunan infrastruktur itu, nyatanya tidak mampu di cover oleh penghasilan dari BUMN kita. Tidak ada uang yang tersedia ternyata. Kecuali melakukan utang. Maka pemerintah pun menambah utang. Persis seperti yang pernah di lakukan oleh pemerintah Yunani.

Namun dalam perjalananannya, ternyata utang itu justru semakin memperbesar rasio. Serapan dana dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak seimbang. Pemerintah mulai kelabakan membayarnya, karena jatuh tempo pembayaran bunga hutang sudah berjalan. Rasio utang sudah nyaris 25 %, dari total APBN yang pernah ada.

Utang dalam sebuah negara, memang bukan sesuatu yang salah. Sepanjang kemampuan dalam pengelolaannya baik, maka utang bisa memperkuat ekonomi dan menumbuhkan pembangunan sebuah negara. Namun faktanya, pemerintahan kali ini tidak tampak keseimbangannya dalam pengelolaan utang dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Infrastruktur yang belum begitu mendesak, justru tampak digalakkan oleh pemerintahan ini. Alhasil, serapan dana pun tidak seimbang. Dana habis terserap pada proyek-proyek yang belum memiliki kepastian pertumbuhan ekonomi. Ini berbahaya.

Maka tak heran, bila kemudian pemerintah menggalakkan penarikan pajak secara besar-besaran kepada rakyat. Mencabut subsidi BBM, dan menjalin kerjasama dengan banyak perusahaan-perusahaan asing, untuk menggarap proyek-proyek strategis bangsa. Ini sebenarnya adalah fakta dari kepanikan pemerintah dalam menekan rasio hutang. Memang hanya cara-cara seperti ini yang paling memungkinkan untuk memperbesar kas negara. Tapi ini berpotensi memicu keresahan bahkan gejolak sosial. Karena rakyat semakin lama pasti tidak akan tinggal diam, bila mereka terus dihisap oleh pemerintah.

Saya sangat menyesalkan kebijakan Pemerintah Jokowi-JK, yang begitu berambisi dalam pembangunan infrastruktur. Sehingga mengacaukan kondisi perekonomian kita. Dan yang lebih saya sesalkan lagi, Pemerintah cenderung menekan rakyat untuk mengurai kebuntuan mereka dalam penyelamatan perekonomian negara. Padahal, pemerintah bisa melakukan optimalisasi terhadap BUMN yang ada, tidak mesti harus sedemikian keras memalak rakyat, mencabut subsidi BBM, dan menaikkan berbagai jenis pajak. Karena ini berbahaya bagi kedamaian dan kelangsungan sebuah negara.

Oleh : Setiyono (Aktivis Pergerakan)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan