Bongkaran rumah Bung Tomo
Bongkaran rumah Bung Tomo

Jakarta, Aktual.com — Masyarakat luas, terutama di sekitar ibu kota Provinsi Jawa Timur, bisa jadi merasa kehilangan atas rumah bekas radio perjuangan Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10, Tegalsari, Kota Surabaya, yang dibongkar, telah rata dengan tanah.

Rumah bersejarah yang berstatus bangunan cagar budaya tipe B itu dibongkar pemiliknya hampir sebulan lalu tanpa sepengetahuan Tim Cagar Budaya Kota Surabaya. Pemkot Surabaya dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) serta Tim Cagar Budaya kecolongan.

Ini dikarenakan pada masanya di tempat itu suara berapi-api, pekik takbir, Bung Tomo yang kerap didengar setiap peringatan kemerdekaan, dipancarkan di studio rahasia dari rumah ini.

K’tut Tantri dan beberapa sahabat Bung Tomo mendirikan Radio Pemberontakan Republik Indonesia dengan memancarkan siaran dengan peralatan portable. Inilah studio radio bersejarah itu. Studio yang terpaksa diciptakan setelah RRI masih ragu dengan sepak terjang Bung Tomo.

Dari tempat inilah, perang 10 November di Surabaya kemudian berkobar. Dari pojokan kamar di bangunan inilah, ratusan ribu pejuang tersulut emosinya. Maka yakinlah, dari bangunan ini, Surabaya kelak disebut kota pahlawan.

“Sayang sekali, lolos dari bom sekutu tahun 1945, hari ini, saksi bersejarah itu justru dihancurkan oleh bangsa sendiri,” kata salah satu pemerhati bangunan cagar budaya yang pertama kali menemukan kondisi Rumah radio Bung Tomo telah hancur rata dengan tanah pada 3 Mei 2016, Kuncarsono Prasetyo.

Padahal bangunan yang berdiri tahun 1935 ini sudah masuk daftar cagar budaya melalui SK Wali Kota Suabaya Nomor 188.45 tahun 1998.

Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya Freedy H Istanto menyayangkan adanya pembongkaran bangunan cagar budaya itu. Tentunya hal ini luput dari pantauan Tim Cagar Budaya Kota Surabaya.

“Saya juga baru tau. Mestinya Satpol PP selaku penegak perda tahu. Ada pembongkaran kok tidak tahu,” ujarnya.

Mendapati hal itu, Tim Cagar Budaya dan Satpol PP Kota Surabaya langsung bertindak cepat melakukan penyegelan terhadap lokasi pembongkaran bangunan cagar budaya itu.

“Yang terjadi di sini adalah melangar atau tidak sesuai rekomendasi yang diberikan tim cagar budaya, maka akan kami tindaklanjuti melalui proses berikutnya. Yang hari ini dilakukan oleh Satpol PP adalah menghentikan pelaksanaan pekerjaan,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Wiwik Widyawati.

Kasi Program Satpol PP yang juga bertindak sebagai PPNS, Bagus Supriadi mengatakan pihaknya akan melakukan penghentian pelaksaan pekerjaan dan melakukan penyegelan. “Kami beri garis Satol PP dan tanda terjadi pelanggaran di sini,” ujarnya.

Wiwiek menjelaskan awal kejadian bagaimana sampai bangunan cagar budaya bekas markas radio penyiaran pemberontakan oleh Bung Tomo tersebut. Disbudpar menerima surat permohonan izin renovasi bangunan pada tanggal 26 Februari 2016 dan pada 14 Maret 2016, Disbudpar mengeluarkan izin rekomendasi untuk merenovasi bangunan.

“Setelah itu, kami baru tahu kalau bangunan sudah rata dengan tanah pada tanggal 3 Mei, sebelumnya memang tidak ada pengecekan di lapangan,” kata Wiwiek.

Pihaknya menjelaskan, dalam proses pengeluaran izin tersebut, masih menggunakan nama pemilik bangunan yang lama dengan nama Amin. Sehingga dari Disbudpar sendiri tidak memiliki kecurigaan bahwa bangunan cagar budaya tersebut sebenarnya sudah beralih pemilik.

Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga menjelaskan bahwa kalau memang yang mengajukan adalah masih pemilik yang sama, Disbudpar beranggapan mereka sudah mengerti tentang aturan memiliki bangunan cagar budaya.

Termasuk seberapa jauh batasan bangunan cagar budaya dengan tipe B boleh direnovasi. Terlebih yang mengurus izinnya saat itu adalah ahli waris dari pemilik lama. Sertifikat kepemilikan aset juga masih menggunakan nama orang lama.

Akan tetapi, pihaknya mengakui bahwa pemkot merasa cukup kewalahan untuk mengawasi 273 bangunan cagar budaya satu per satu. Sehingga tidak semua bangunan cagar budaya yang ada bisa termonitor.

Disbudpar bersama BCB Trowulan telah melakukan identifikasi bagaimana penyusunan batu-bata dan sebagainya, untuk kemudian direkonstruksi ulang sesuai wujud bangunan asalnya. “Harapan kami, sesegera mungkin bangunan tersebut direkonstruksi dan dikembalikan ke bentuk semula,” ujarnya.

Sementara itu, pihak Plaza Jayanata selaku pemilik baru rumah radio Bung Tomo menyatakan rumah itu akan dipakai untuk rumah salah satu anak dari pemilik Plaza Kecantikan Jayanata.

“Saya hanya tahu kalau tanah itu akan dibangun sebagai tempat tinggal untuk anaknya. Saya ke sini terkait rumah di Jalan Mawar 10 yang dibeli bos saya untuk dibangun rumah bagi anaknya. Lainnya saya tidak tahu,” kata Lilik Store Manager Plaza Jayanata.

Di sisi lain Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk rumah di jalan Mawar 10 itu telah keluar sebelum rekomendasi Tim Cagar Budaya dikeluarkan. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengaku tidak tau keluarnya IMB tersebut.

“Saya tidak tahu IMB-nya dalam bentuk apa. Saya juga tidak tahu kesalahannya di mana. Nanti saya cek. Saya beberapa hari ini tidak bisa mengikuti itu karena berada di Jakarta,” kata Risma.

Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan bahwa bangunan rumah di Jalan Mawar atas nama pemilik Alim sudah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada tahun 1975.

“Sudah memiliki IMB sejak tahun 1975. Bentuk bangunannya ya bangunan rumah besar dengan bentuk seperti ini,” kata Erik.

Kemudian pada 1996, lanjut dia, rumah itu mendapat status sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) melalui SK Wali Kota. “Selanjutnya November 2015, pemilik saat ini mengaku anaknya Pak Alim, mengajukan IMB untuk renovasi. Pengajuannya untuk merubah dua jendela ditutup dengan tembok dan hanya satu pintu saja,” kata Eri.

Karena sudah memegang IMB, dan renovasinya tidak seberapa besar, maka Desember 2015 keluarlah IMB yang baru. Dalam mengeluarkan IMB baru itu, Eri tidak menjelaskan secara gamblang, apakah sudah mendapat surat rekomendasi dari Disbudpar atau belum.

Namun diakuinya bila surat rekomendasi dari Disbubar, baru diajukan oleh pemilik pada Februari 2016 dan Maret 2016, surat rekomendasi keluar, namun isinya hanya renovasi untuk bagian tertentu sesuai dengan gambar yang disertakan.

“Tapi ternyata pada 3 Mei 2016, kami baru tahu kalau bangunannya sudah rata dengan tanah,” kata Eri.

Lebih lanjut, Eri menyebutkan, saat pengajuan IMB pada November 2015, pihaknya mendapati bangunan itu sudah tidak ada plakat sebagai BCB. Sehingga tidak ada keinginan untuk meminta surat rekomendasi renovasi dari Disbudpar.

Arek Surabaya Menggugat

Forum Arek Suroboyo melaporkan adanya perusakan bangunan cagar budaya Rumah Radio Perjuangan Bung Tomo di Jalan Mawar 10 ke Polrestabes.

“Kami menyayangkan adanya penghancuran bangunan yang dilakukan oleh pihak swasta, dan digunakan sebagai sarana umum,” kata Ketua Forum Arek Suroboyo Trimoelja D Soerjadi saat di Polrestabes Surabaya.

Menurut dia, rumah radio Bung Tomo ini mempunyai nilia historis yang tinggi. Bahkan ia mengaku heran bangunan bersejarah yang bernilai tinggi dengan type B itu dengan mudah dibongkar.

“Tentunya kejadian ini perlu dilaporkan kepada yang berwajib, siapa pun yang terlibat harus dilaporkan tanpa pandang bulu,” ujar pengacara senior ini.

Diketauhui ada ratusan warga yang tergabung dalam komunitas maupun pribadi ikut mengawal pelaporan ke Polrestabes Surabaya. Tidak ketinggalan Putra Bung Tomo, Bambang Soelistomo dan sejumlah tokoh lainnya seperti Arif Afandi ikut hadir dalam kesempatan itu.

Perwakilan massa ditemui petinggi Polrestabes Surabaya di ruang Bagops Mapolrestabes. Selama pertemuan berlangsung, massa menunggu di gerbang Mapolrestabes.

Sebelum melaporkan ke Polrestabes Surabaya, mereka melakukan aksi demo di depan Gedung Negara Grahadi. Dalam aksinya mereka melakukan orasi dan membubuhkan tanda tangan di spanduk mengecam aksi penghancuran cagar budaya itu.

“Penghancuran ini tidak sekadar dilihat dari robohnya sebuah bangunan saja, tapi ini sama saja melecehkan, karena bangunan bersejarah merupakan simbol kemerdekaan, dan bangunan ini dihancurkan, mau jadi lapangan parkir,” tegas A.H. Thony Wakil Ketua Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR).

Anggota Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Surabaya Vinsensius Awey mengatakan pihaknya menawarkan solusi saat ini dan kedepannya agar Disbudpar tidak begitu mudahnya menentukan bangunan-bangunan yang berusia di atas 50 tahun sebagai bangunan cagar budaya (BCB).

“Ketika label BCB diberikan kepada bagunan itu, maka si pemilik bangunan telah kehilangan kebebasan,” katanya.

Untuk itu, lanjut dia, agar pihak terkait lebih selektif dalam menentukan BCB. Tentunya yang memiliki nilai historikal tinggi dalam menentukan BCB. Tidak hanya sekedar penentuan berdasarkan memori, romantika ataupun usia bangunan semata.

Selain itu, lanjut dia, Disbudpar tidak hanya mampu menetapkan bangunan-bangunan yang ada sebagai BCB, namun juga harus tanggung jawab terhadap seluruh biaya perawatan bangunan itu secara periodik dan menghapuskan biaya PBB bangunan tersebut sebagai bentuk perhatian konkrit dari pemerintah.

“Ketentuan itu harus memiliki cantolan hukum yang kuat sehingga pemkot yang mencairkan bantuan itu tidak terjerat hukum. Bila perlu revisi perda saat ini yang sudah tidak aplikatif dan tidak aspiratif,” ujarnya.

Pemerintah harus menganggarkan sejumlah dana untuk membeli sejumlah bangunan yang memiliki nilai heroik dan nilai historikal tinggi seperti halnya rumah Bung Karno semasa kecil dan rumah bersejarah lainnya.

Dengan demikian rumah rumah bersejarah tersebut tetap terpelihara dan terlestarikan dengan baik di bawah naungan pemerintah. Bangunan-bangunan yang memiliki nilai-nilai sejarah tinggi patut dipertahankan karena mengandung nilai patriotisme yang bisa diwariskan kepada anak cucu. “Kita ada karena sejarah,” ujarnya.

Pemerintah, lanjut dia, harus menyiapkan tim yang secara periodik melakukan pengawasan di semua bangunan-bangunan yang tercatat sebagai BCB. Dengan demikian bangunan-bangunan itu tetap terawasi dengan baik.

Pelaku perobohan BCB yang terbukti secara sadar menghilangkan bangunan bersejarah ini wajib dibawa ke ranah hukum. Biarkan diproses secara hukum menurut ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2010 dan Perda 5 Tahun 2005 terkait pelestarian bangunan dan lingkungan cagar budaya.

“Ini semua dilakukan sebagai proses pembelajaran bagi siapapun untuk tidak begitu mudahnya tanpa melewati sebuah prosedur yang ada lantas melenyapkan bangunan bersejarah ini. Negara kita negara hukum. Biarkan semua diproses sesuai ketentuan yang ada,” ujarnya.

Oleh: Abdul Hakim–Antara

 

Artikel ini ditulis oleh:

Antara