Jakarta, aktual.com – Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Georgius Budi Yulianto, mengkritik tajam rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang akan menetapkan standar baru rumah subsidi dengan luas tanah 25 m² dan luas bangunan hanya 18 m².
Menurut Budi, ukuran tersebut tidak memenuhi syarat sebagai hunian yang layak dan lebih cocok disebut sebagai shelter atau tempat tinggal sementara. “Itu kalau saya pribadi melihatnya sebagai shelter, sebagai rumah untuk bertahan saja, bukan rumah tinggal,” tegasnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (18/6). “Kalau kita tinggal di rumah itu bertahun-tahun, saya rasa itu akan menimbulkan masalah psikologis tersendiri.”
Budi menjelaskan, dalam arsitektur terdapat empat kriteria utama yang harus dipenuhi oleh sebuah bangunan, yakni keamanan, keselamatan, kemudahan, dan kenyamanan. Ia menilai standar rumah subsidi terbaru tidak memenuhi aspek-aspek tersebut.
“Empat kriteria itu memang harus dipenuhi dengan baik. Jadi menurut saya, kalau konteksnya rumah deret, tentu itu bukan sebagai rumah, tapi shelter. Shelter itu tempat sementara untuk orang berlindung, bukan rumah permanen,” kata Budi.
Ia menambahkan, rumah adalah benteng terakhir privasi sebuah keluarga. “Ketika itu kita kurangi, maka bisa dibayangkan keluarga seperti apa yang ada di dalamnya,” tambahnya.
Lebih lanjut, IAI memperingatkan bahwa rumah seluas 18 m² berpotensi memicu masalah sosial, seperti menurunnya kohesi sosial, meningkatnya stres rumah tangga, hingga perilaku agresif akibat minimnya ruang privasi antaranggota keluarga.
“Rumah itu bukan hanya tempat tinggal, tapi ruang untuk tumbuh, membangun relasi keluarga yang sehat. Kalau ukurannya seperti itu, kita tidak bicara lagi soal hunian layak,” ujarnya.
Sebagai solusi, IAI menyarankan agar Kementerian PKP merujuk kembali pada Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403 Tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat. Dalam aturan itu, luas bangunan minimal rumah untuk keluarga adalah 36 m².
“Kalau pemerintah sudah pernah membuat aturan, 36 m² itu untuk keluarga, saya rasa itu diikuti saja,” ujar Budi.
Sebelumnya, beredar rancangan Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang memuat usulan baru mengenai standar rumah subsidi. Dalam draf tersebut, rumah tapak subsidi diusulkan memiliki luas tanah minimal 25 m² dan maksimal 200 m², dengan luas bangunan minimal 18 m² hingga maksimal 36 m².
Rencana ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk kalangan profesional arsitektur, karena dinilai tidak berpihak pada kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano