Jakarta, Aktual.Com-Indonesian Audit Watch (IAW) menilai Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus tindak pidana khusus seakan memanfaatkan momentum kebebasan pasca reformasi yang nyaris tanpa batas. Betapa tidak, instrumen hukum yang ditangani Kejaksaan saat ini semakin lama seperti semakin tidak valid dalam sesuatu penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Ketua Pendiri IAW, Junisab Akbar, mencatat dugaan kasus VLCC yang sempat menyeret mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Dimana, belum ada audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, atau terminimal dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) namun mereka berani menyatakan sudah ada tersangka dengan alasan sudah menghitung sendiri dugaan kerugian negara.

“Upaya penghitungan sendiri tersebut nyaris bisa dikategorikan tidak menganggap ada fungsi lembaga tinggi negara BPK RI,” kata Junisab melalui perangkat seluler, Jakarta, Minggu (17/8/2016).

Namun, lanjut Junisab setelah BPK RI melakukan audit investigatif, ternyata tidak ditemukan unsur kerugian negara terkait kasus yang dituduhkan Kejagung. Maka, Laksamana kemudian dibebaskan.

“Hal seperti itu sangat naif dilakukan oleh institusi hukum dibawah lembaga Kepresidenan tersebut,” ujarnya.

Sekarang, kata dia, dibawah kendali Jaksa Agung HM Prasetyo, Kejagung semakin mudah secara kasat mata melakukan hal-hal fatal dalam konteks menentukan atau menjatuhkan penilaian terhadap persangkaan ada atau tidak kerugian negara dalam sesuatu kasus yang disidik oleh kejaksaan.

“Seperti misalnya, kasus papa minta saham, dimana semua unsur pemerintahan heboh. Nah, ternyata putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak menemukan kesalahan dalam kasus yang sempat diselidiki oleh Kejagung,” ucap Junisab.

Mantan anggota Komisi III DPR RI itu pun mempertanyakan, lalu bagaimana pertanggungjawaban dari tuduhan Jaksa Agung itu terhadap kasus yang sempat menyeret mantan Ketua DPR Setya Novanto.

“Pertanyaan adalah, apa cukup didiamkan saja,” heran Junisab.

Lebih teranyar lagi, kata Junisab penanganan kasus dugaan korupsi Rental Mobil Dinas Bank Sumut yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) bahwa ada kerugian negara dikasus ini. Bahkan, sudah 5 orang berstatus tersangka. Padahal, Junisab menduga penetapan itu tanpa terlebih dahulu dilakukan audit investigatif dari BPK Perwakilan Sumut dan atau BPKP Sumut.

“Terlebih lagi, ke publik aparat Kejatisu dengan “gagah perkasa’ meneriakkan sudah ada audit yang menyatakan penghitungan kerugian uang negara,” ujarnya.

Namun, saat Kejatisu rajin beropini menyatakan ada kerugian negara, IAW malah mendapatkan salinan surat jawaban dari BPKP Sumut yang isinya menyebutkan bahwa BPKP Sumut sama sekali belum pernah melakukan audit investigatif terhadap kasus itu. Ini surat tersebut,” ucap Junisab sembari memperlihatkan surat BPKP Sumut tersebut.

Lanjut Junisab, ketika BPKP menyatakan sikap demikian, bisa jadi IAW memprediksi sikap yang sama pun bisa saja datang dari BPK RI. Bahkan bisa lebih tegas lagi.

“Sebab BPK RI sebagai lembaga tinggi negara yang merupakan benteng auditor negara, tidak sudih untuk jadi stempel penanganan kasus yang dilakukan oknum penyidik, namun tidak sesuai prosedur sehingga menjadi prematur untuk menuduhkan predikat tersangka,” ungkap dia.

Melihat tata cara penyidikan terhadap kasus itu, IAW mempertanyakan, siapa yang menghitung kerugian negara dikasus Rental Mobil operasional Bank Sumut tersebut, sehingga Kejatisu bisa dengan gagah menetapkan para tersangka.

“Seharusnya, Kejatisu membuka LHP siapa, apakah BPK atau BPKP yang mereka pegang sehingga berani mentersangkakan dalam kasus tersebut,” ungkapnya.

Sebab kata dia, LHP audit investigatif yang dimintakan aparat hukum bukan rahasia negara, apalagi karena merupakan bahagian dari penyidikan, bahkan nantinya bagian dari penuntutan di depan sidang.

“Kecuali LHP non investigatif maka harus lebih dahulu dilaporkan auditor negara ke DPR RI dan Presiden baru bisa terbuka kepada publik,” ujar Junisab.

Karena itu, Junisab menghimbau kepada BPKP terlebih BPK untuk sekiranya kasus ini disikapi dengan bijaksana , sebab tugas pokok dan fungsi mereka diduga kuat ‘dirampas’ sekaligus disirkumsisi.

Sebelumnya, oknum jaksa Kejatisu mengeledah Rumah aspirasi milik Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Romo H Raden Muhammad Syafei. Rumah yang menjadi kantor Romo Center itu kerap menjadi arena pengaduan warga Sumut, untuk menjadi tempat pengaduan warga yang bermasalah.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs