(ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan defisit dalam outlook APBN 2020 yang melebar menjadi Rp1.028,5 triliun atau 6,27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menandakan kondisi fiskal Indonesia yang tidak sehat.

“Sebetulnya fiskal kita itu tidak sehat karena ketika membutuhkan stimulus besar, mencetak utang dengan SBN tapi bagaimana pembayaran ke depan? Padahal pendapatan negara tidak tercapai, dalam kondisi normal pun tidak tercapai,” katanya di Jakarta, Rabu (20/5).

Untuk menutupi biaya utang, lanjut dia, maka pemerintah diperkirakan akan berutang kembali karena pendapatan negara merosot sehingga kondisi tersebut berpotensi mempengaruhi fiskal APBN tahun-tahun mendatang.

“Kalau itu defisit artinya kita bayar utang lewat gali utang. Jadi kita membayar utang tahun depan itu dengan menerbitkan SBN (surat berharga negara) tahun ini,” imbuh peneliti makro ekonomi dan keuangan Indef itu.

Untuk mendongkrak penerimaan negara dari pajak, ia mendorong pemerintah menggali lebih optimal dari perusahaan teknologi informasi berbasis digital termasuk perdagangan dalam jaringan atau e-commerce.

Tak hanya itu, lanjut dia, pajak penghasilan pribadi khususnya kelas atas yang belum terdata perlu digenjot termasuk memastikan dana hasil pengampunan pajak tidak keluar dari Indonesia.

Ia juga mendorong penerbitan utang perlu didukung pengelolaan risiko keuangan negara seperti yang disampaikan sebelumnya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BPK dalam Ihktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) kedua 2019 menyebutkan pemerintah pusat dinilai kurang efektif menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal 2018-2019.

“Selalu disebutkan bisa menjaga defisit fiskal tiga persen dan rasio utang yang di bawah 60 persen PDB, bukan itu saja indikatornya, harusnya kemampuan membayar (utang) berapa, rasio pendapatan terhadap utang juga berapa,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jumpa pers terkait pemulihan ekonomi nasional (PEN) Senin (18/5) mengatakan pemerintah akan merevisi kembali postur APBN berdasarkan Perpres 54 tahun 2020 karena melebarnya defisit dari semula 5,07 persen atau Rp852,9 triliun menjadi Rp1.028,5 triliun atau 6,27 persen.

Dalam outlook APBN 2020, Menkeu menyebutkan pendapatan negara diperkirakan menurun Rp69,3 triliun dari Rp1.760,9 dalam Perpres 54 tahun 2020 menjadi Rp1.691,6 triliun.

Sedangkan, melalui PEN pemerintah menambah belanja negara subsidi bunga untuk UMKM Rp34,2 triliun, perpanjangan diskon listrik Rp3,5 triliun, bansos tunai diperpanjang hingga Desember 2020 sebesar Rp19,62 triliun dan cadangan stimulus Rp60 triliun.

“Untuk bisa mendanai defisit sebesar 6,27 persen atau Rp1.028.5 triliun dilakukan melalui pembiayaan dan pengadaan surat berharga yang sudah diatur dalam Perppu dan SKB antara Kemenkeu dan Bank Indonesia,” katanya.

Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mengingatkan pemerintah agar betul-betul menjaga kredibilitas Anggaran Penerimaan dan Belanja dan Negara (APBN) supaya defisit yang ada tidak menjadi semakin melebar lagi ke depannya.

“Pelebaran defisit tentu berakibat semakin besarnya risiko pengelolaan fiskal seiring penambahan pembiayaan utang serta beban pembayaran bunga utang,” kata Puteri Anetta Komarudin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta.

Apalagi, politisi Fraksi Partai Golkar itu juga mengingatkan bahwa risiko itu juga tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan pembayaran karena menurunnya kinerja penerimaan negara akibat tekanan ekonomi.

Oleh karena itu, Puteri menyoroti fleksibilitas pelebaran defisit anggaran untuk kembali di bawah 3 persen dari PDB secara bertahap sebagaimana direncanakan Pemerintah dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

“Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memang menjadi payung hukum yang jelas menyebutkan bahwa defisit akan kembali disiplin ke batas normal 3 persen dari PDB pada 2023. Namun, pelebaran defisit ini tetap perlu diantisipasi agar tidak terus melebar pada masa yang akan datang,” katanya.

Ia berpendapat bahwa dengan semakin melebarnya defisit, maka akan semakin menantang pula pengembaliannya ke batas normal walau secara bertahap.

Untuk itu, ujar dia, Pemerintah harus berusaha keras agar pelebaran defisit yang terjadi tetap dalam batas yang memungkinkannya kembali pada batas normal sesuai target Perppu.

Puteri juga meminta pemerintah agar mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan negara potensial seperti pajak digital, serta meningkatkan efektivitas pengelolaan utang sekaligus memperhatikan stabilitas rasio utang Pemerintah terhadap PDB untuk menjaga kredibilitas APBN dalam menghadapi tekanan perekonomian akibat pandemi.