Rasanya tidak cukup jika dalam KTT negara-negara anggota Asosiasi Lingkar Samudra atau Indian Ocean Rim Association (IORA) hanya sekadar menelorkan dokumen kesepahaman untuk menjadikan Samudra Hindia sebagai wilayah baru pertumbuhan ekonomi. Mengingat letak geografisnya di sebelah Timur Laut kawasan Samudra, Indonesia harus jadikan kawassan ini sebagai senjata geopolitiknya.

Sejak minggu kemarin (05/03), Indonesia sebagai Ketua Asosiasi Lingkar Samudra Hindia (IORA) menggelar konferensi tingkat tinggi yang menghadirkan 21 negara anggotanya.

Sasaran strategis Indonesia memprakarsai keluarnya Dokumen Kesepahaman bersama untuk meningkatkan komitmen negara negara yang tergabung dalam IORA.

Dokumen yang rencananya bernama IORA Concord ini, nampaknya memang diharapkan bakal jadi suatu kebijakan terobosan. Seperti yang diungkapkan oleh pihak Kementerian Luar Negeri, Samudra Hindia tidak boleh menjadi “daerah tak bertuan” alias wilayah yang tak terkontorol.

Pada tataran ini, harapan semacam ini sangat beralasan bagi Indonesia, yang kebetulan secara geografis terletak di sebelah timur laut kawasan Samdura Hindia. Selain daripada itu, kalau kita cermati secara geopolitik, Samudra Hindia merupakan jalur lintas seperti kargo setengah kapal peti kemas dunia, maupun 70 persen jalur perdagangan dunia, termasuk distribusi utama minyak dan gas bumi.

Artinya, kalau ktia mnyadari keunggulan geopolitik ini, Samudra Hindia bukan saja tidak boleh jadi wilayah tak bertuan, bahkan Indonesia harus bisa menjadikan kawasan Samudra Hindia sebagai “senjata geopolitik.”

Menurut M Arief Pranoto, pengkaji geopolitik dan Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI), geoposisi (silang) Indonesia di antara dua samudera dan dua benua, selain dinilai sangat strategis dalam perspektif (geo) politik global, tetapi ia dapat berubah menjadi “kritis” jika pemerintah tidak memanfaatkan faktor geopolitical leverage atau keunggulan geopolitik Indonesia tersebut.

Bicara tentang Samudra Hindia, berarti tak bisa dilepaskan dari Selat Malaka, sebagai halaman muka memasuki kawasan Indonesia bagian Barat dan laut Cina Selatan.

Sekurang-kurangnya, dari tujuh selat strategis dunia, empat —harusnya lima— diantaranya berada di Indonesia. Artinya, bila Indonesia menutup beberapa selatnya dengan alasan kepentingan nasionalnya terganggu, maka bakal heboh dunia. Ini bahan/materi bargaining yang dahsyat pada forum diplomasi baik tingkat global maupun regional.

Misalnya saja Selat Lombok. Belum banyak yang tahu bahwa selama ini pengapalan sapi dari Australia ke Cina selalu melintasi Selat Lombok, Apa artinya ini?  Secara geopolitik, bila selat tersebut ditutup untuk sementara waktu —entah dalam rangka latihan TNI-Polri guna menghadapi teroris misalnya, atau karena kepentingan nasional RI terancam, atau alasan lain, dqn sebagainya. Implikasinya, “Apa Australia tidak menjerit?” Dia bisa muter melalui Papua New Guine/PNG. High cost, produknya akan sulit bersaing.” begitu penuturan M Arief Pranoto kepada Aktua.

Masuk akal juga. Sebab Selat Lombok merupakan salah satu “jantung ekonomi” Australia. Bahkan konon —— 80% APBN Australia tergantung dari perairan Indonesia/Selat Lombok. Ya, seandainya setiap melintas dikenakan fee lintas (sekian $ atau Rp) per kapal, bukankah cukup lumayan mengisi pundi-pundi devisa kita dari sektor choke points ini? Belum lagi lintasan di Selat Sunda, di Selat Malaka, dan lain-lain.

Maka itu menurut Pranoto, titik kritis yang mutlak harus disadari bersama adalah, jika Indonesia lemah baik sebagai bangsa maupun negara, selain ia cuma dijadikan buffer zone (penyangga) bagi negara-negara imperialis kapitalis karena faktor-faktor strategis di atas. Juga yang rawan dari perspektif kritis tadi, pertama, kita berbatasan dengan 3 negara asing di daratan dan 10 negara lain di lautan.

Artinya apa, cukup banyak frontier —batas imajiner pengaruh pusat terhadap rakyatnya di perbatasan— yang mutlak harus dikelola secara konseptual. Jika tidak, wilayah-wilayah perbatasan bisa lepas satu persatu.

Terpisahnya Timor Timor, Sipadan dan Ligitan adalah bukti nyata kelemahan pusat dalam mengelola frontier. Kedua, selain dikelilingi oleh 13 pangkalan militer Amerika (AS), negeri ini juga diputari oleh Five Power Defence Arrangement (FPDA) yang meliputi Inggris, Australia, Malaysia dan Singapore, selain ada pula ANZUS (Amerika, New Zealand dan Australia) dan lainnya.

Indonesia tidak boleh abai terhadap takdir geopolitiknya sebagai negara maritim. Dengan anugerah geografis Indonesia yang mempunyai sisi strategis dalam Sea Lanes of Communication dan Sea Lanes of Trade ini menuntun wilayah negara yang berada dalam regional Asia Tenggara ini sebagai Center of Gravity.

Karenanya, Indonesia harus merajut identitas atas dasar kesadaran ruang hidup. Indonesia harus kembali menjadi inisiator melahirkan gagasan baru pada lingkup kemaritiman dalam kawasan.

Hendrajit