Aktivis Migrant Care Wahyu Susilo menunjukkan kaos bertuliskan 'Stop Hukuman Mati' di sela-sela keterangan pers Jaringan Masyarakat Sipil terkait eksekusi mati di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (31/7). Mereka meminta Presiden Joko Widodo membentuk tim independen untuk meninjau kembali kasus-kasus terpidana mati dan menelaah kembali permohonan grasi. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/16

Jakarta, Aktual.com – Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023) membuka babak diskursus yang baru. Salah satu terobosan yang dibawa UU 1/2023 adalah pengaturan baru mengenai pidana mati.

Tokoh Senior HAM, dan Praktisi Hukum Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., menceritakan awal mula dirinya menolak hukuman mati dengan mendatangi Wakil Presiden waktu itu Adam Malik bersama para seniornya Yap Thiam Hien dan sejumlah rekan untuk menolak hukuman mati.

Gerakan Hapus Hukuman Mati (HATI) yang dipeloporinya menjadi kian vokal.

“Sikap saya terhadap hukuman mati masih sama, sejak awal menjadi penggiat HAM sampai hari ini. Saya menolak hukuman mati. Dalam kasus apa saja, kepada siapa saja.”, Tegas Todung Mulya Lubis, dalam Siaran Pers, Jumat (19/5).

Perubahan pidana mati dalam UU 1/2023, menurut Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., merupakan langkah positif dari sejarah panjang Indonesia yang menolak penghapusan pidana mati.

“Pasal 100 KUHP Baru ini wujud nyata dari jalan tengah yang mengompromikan pihak yang setuju dan menentang hukuman mati,” ucap Todung dalam FGD Kesenjangan Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru dengan Status Quo: Masalah dan Urgensi.

Dia menjelaskan, ide awal dari adanya pidana percobaan selama 10 tahun dicetuskan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dalam kapasitasnya sebagai ahli dalam pengujian konstitusionalitas hukuman mati di tahun 2007 silam.

Pengacara senior sekaligus aktivis hak asasi manusia yang telah berkiprah selama hampir 50 tahun ini, mengakui, dalam perjalannya Todung tidak lepas dari cibiran dari rekannya yang menilai bahwa hukuman mati pada dasarnya pun diperbolehkan dalam hukum Islam.

Kini narasi tersebut layak dipertanyakan kembali sebab negara tetangga Malaysia dalam konstitusinya mengaku sebagai negara muslim pun kini menghapus hukuman mati yang mandatory.

“Baru-baru ini, Malaysia menghapus hukuman mati yang bersifat mandatory sebagai janji dari Perdana Menteri baru Malaysia, Anwar Ibrahim. Bahkan, mereka telah bergerak lebih jauh dari itu dengan menghapus pidana penjara seumur hidup. Hal ini tentu meruntuhkan dalil pendukung hukuman mati yang menggunakan hukum Islam sebagai justifikasinya. Buktinya, Malaysia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan dalam konstitusinya menyatakan sebagai negara Islam bisa melakukan itu,” ujar Todung.

Senada dengan Todung, Kriminolog Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Meliala juga menilai bahwa masa percobaan hukuman mati sebagai langkah positif untuk merehabilitasi terpidana. Apalagi menurut alumnus program S3 Kriminologi dari University of Queensland Australia menyatakan ada banyak terpidana yang melakukan perbuatannya dalam kondisi ‘kalap’ (tidak tenang).

“Masa percobaan ini dapat memberikan efek jera dan rehabilitasi kepada pelaku tindak pidana yang tergolong sebagai pelaku ‘tergelincir’.” Jelas Adrianus

Guru Besar Universitas Indonesia ini lalu melanjutkan bahwa masa percobaan ini juga bisa menjadi obat bagi masalah unfair trial dan miscarriage of justice yang selama ini mewarnai dunia hukum Indonesia karena bisa memberikan cukup waktu untuk mengungkap kebenaran.

“Jangan sampai menghukum orang yang tidak pantas dihukum, apalagi sampai menghukum mati,” tegas Adrianus.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu