Jakarta, Aktual.com — Harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) diperoleh berdasarkan formula harga yang ditetapkan sesuai ketentuan dalam Perpres No.191 Tahun 2015 dan Permen ESDM No.39/2014. Namun dalam prakteknya ketentuan dalam peraturan tersebut tidak dijalankan secara konsisten, sehingga antara lain berdampak pada kerugian BUMN dan terganggunya ketahanan ketahanan energi. Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara.

Marwan menjelaskan, jika diurut dari pembelian produk minyak sesuai harga index pasar (HIP atau Mean of Platts Singapore, MOPS), lalu formula dalam Permen ESDM No.39 diterapkan, maka harga jual BBM dapat dihitung berdasarkan berbagai komponen biaya.

Komponen biaya yang dimaksud antara lain, harga pokok produksi = harga pembelian sesuai HIP/MOPS + biaya transportasi. Harga pokok penjualan = harga pokok produksi + biaya penyimpanan + biaya distribusi. Sementara harga dasar = harga pokok penjualan + margin Pertamina + margin SPBU dan harga jual BBM = harga dasar + PPN + PBBKB + Iuran BPH.

“Nilai komponen biaya yang menentukan harga jual BBM antara lain adalah biaya transportasi produk sebesar Rp286/liter, biaya distribusi, biaya penyimpanan dan mobil tangki Rp220/liter,” kata Marwan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (28/7).

Selain itu, kata dia, terdapat pula pajak (PPN) yang besarnya 10 persen, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar  5 persen, dan juga iuran untuk BPH Migas Rp22/liter serta kompensasi biaya distribusi sebesar 2 persen untuk BBM Non-Jamali. Adapun volume 1 barel BBM setara dengan 159 liter.

“Menjadi tugas pemerintah dan Pertamina untum mensosialisasikan secara transparan seluruh kompoenen biaya pembentuk harga dan formula yang dipergunakan, sehingga berbagai hal maupun persepsi yang tidak tepat dapat dicegah atau dikurangi,” jelas dia.

Selanjutnya, jika memang Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah menganggap harga BBM terlalu tinggi atau perlu dikurangi, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan pajak (PPN dan PBBKB) yang saat ini nilainya 15 persen terhadap harga dasar. Pengurangan atau penghilangan pajak dapat pula berfungsi sebagai substitusi terhadap subsidi BBM yang saat ini sudah terlanjur dicabut.

“Sebaliknya, jika ingin menerapkan pola subsidi yang lebih berkeadilan, pemerintah dapat pula menerapkan PPN dan PBBKB secara selektif dengan nilai yang lebih tinggi kepada golongan yang mampu. Sehingga dengan demikian upaya untuk menerapkan pola subsidi yang tepat sasaran mungkin dapat dicapai,” terang dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka