Denpasar, Aktual.com — Bergerak sealunan detak langkah hari, industri uang kepeng di Klungkung, Bali, tak pernah berhenti menorehkan prestasi. Berbagai penghargaan silih berganti diraih, dari usaha yang justru dibangun di sebuah kampung yang jauh dari hiruk-pikuk derap kehidupan kota.

Beragam prestasi tersebut, antara lain penghargaan dari MURI atas pembuatan uang kepeng terbesar Mei 2007, penghargaan produktivitas dan kualitas Paramakarya oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono di Istana Negara pada 7 Desember 2007 lalu, penghargaan Internasional Seminar For Revitalized Bali’S Development 2008, Penghargaan Upakarti Jasa Pelestarian, Penghargaan Anugerah Industri Hijau oleh Presiden RI di Istana Negara pada 7 Desember 2012 lalu, dan sederet penghargaan lainnya.

“Itu baru sebagian saja dari penghargaan yang diterima industri uang kepeng Kamasan Bali. Penghargaan lain masih banyak, dan kami syukuri sebagai pengakuan terhadap kualitas produk dan managemen usaha yang kami jalankan,” demikian kata I Gede Andika Prayatna Sukma, pemilik usaha uang kepeng Kamasan Bali yang terletak di Banjar Jelantik Kuri Batu, Desa Tojan, Kamasan, Kabupaten Klungkung.

Menurut Andika, mulanya ide pembuatan uang kepeng itu adalah dari pemerintah, atau Gubernur Bali melalui suatu lembaga pelestarian warisan budaya Bali yang dikenal dengan nama Bali Heritage Trust (BHT).

Di mana Bali diharapkan memiliki industri uang kepeng, dikarenakan selalu digunakan sebagai salah satu unsur dalam upacara keagamaan. Bahan baku uang kepeng hendaknya memiliki kandungan panca datu (lima kekuatan hidup yang dipengaruhi oleh kekuatan Panca Dewata). Sebelumnya, upacara-upacara di Bali menggunakan uang kepeng yang terbuat dari seng dengan motif yang tidak jelas.

Uang kepeng di Bali tidak asing lagi, karena pemanfaatannya cukup luas. Hampir di setiap upacara Agama Hindu memakai uang kepeng sebagai salah satu sarana utama.

Berdasarkan ide dari Gubernur Bali, ujar Andika, maka ayahnya I Made Sukma Swacita tercetus niat untuk merealisasikannya dan berangkat ke Jawa untuk mempelajari teknik pencampuran bahan baku panca datu. Terdiri dari besi, perak, tembaga, emas dan perunggu-kuningan.

Setelah sempat malang-melintang di berbagai tempat, dan bahkan beberapa tokoh menyatakan mustahil untuk melakukan pencampuran terhadap lima bahan baku logam itu, akhirnya perjalanan Made Sukma tiba di daerah Pati. Pada sebuah tempat pengecoran logam, di mana kemudian Made Sukma belajar selama dua minggu. Setelah masa pembelajaran usai, Made Sukma kembali ke Bali dan meneguhkan niat untuk mendalami usaha uang kepeng.

“Ayah kemudian mendirikan usaha di Klungkung. Ketika membangun tempat usaha, sekaligus langsung memproduksi uang kepeng. Ini dikarenakan mendapat order dari pemerintah sebanyak 300 ribu keping untuk dibagikan ke desa-desa adat,” kata Andika.

Ketika order telah selesai, maka uang kepeng itu dibagikan kepada 1.417 desa adat se-Bali. Masing-masing desa adat mendapatkan satu ikat uang kepeng yang terdiri atas 200 keping atau istilah masyarakat Bali adalah “satakan”. Pembagian uang kepeng itu dilakukan di Pura Puncak Mangu, Kabupaten Badung.

Desain pertama dari uang kepeng bermotif tulisan lima huruf suci (panca aksara). Masing-masing adalah huruf (Sa), bertempat di arah timur dengan warna putih, bahan logam perak, dan simbol kekuatan Dewa Iswara. Huruf (Ba), bertempat di arah selatan dengan warna merah, bahan logam tembaga, melambangkan kekuatan Dewa Brahma.

Huruf (Ta), bertempat di arah barat dengan warna kuning, bahan logam emas, lambang kekuatan Dewa Mahadewa. Huruf (a), bertempat di arah utara dengan warna hitam, bahan logam besi, lambang kekuatan Dewa Wisnu. Terakhir huruf (i), bertempat di arah tengah dengan warna berwarna-warni, bahan logam perunggu atau kuningan, melambangkan kekuatan Dewa Siwa.

Desain kedua uang kepeng adalah bermotif padma (teratai). Dalam desain ini padma sebagai bunga teratai yang melambangkan kesucian. Daunnya berjumlah delapan helai atau yang sering disebut dengan asta dala, dan di bagian tengah sebagai pusat perputaran.

Bahan Baku dari Pemulung Dikatakan Andika, setelah uang kepeng mulai dikenal dan selalu mendapat order dari masyarakat, maka industri uang kepeng Kamasan Bali memunculkan ide untuk mengembangkan produk-produk baru seperti patung uang kepeng, patung pretima cor, daksina linggih, salang, lamak, tamiyang, capah, bandrang, pabuan, alat-alat peselang, tombak, trisula, keris, senjata dewata nawa sanga, dan ada juga yang berupa uang kepeng jimat.

“Sampai saat ini masyarakat sangat merespon dengan keberadaan produk-produk uang kepeng ini, terutama masyarakat yang akan melakukan upacara agama. Omzet rata-rata mencapai Rp50 juta per bulan. Kadang ada order dari pemerintah yang nilainya mencapai Rp500 juta,” ujar alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Udayana ini.

Setiap hari, industri uang kepeng ini dapat memproduksi sebanyak 10 ribu keping, dengan dikerjakan oleh 35 orang karyawan, yang berasal dari wilayah Klungkung.

Bahan baku berupa didapatkan dari pengepul atau pemulung yang dalam sehari menyetorkan 200 kilogram berbagai logam bekas, mayoritas merupakan logam jenis kuningan. Pada proses pembuatan uang kepeng, 75 persen bahan memang terbuat dari kuningan.

“Syukur order tidak pernah putus. Bahan baku pun tidak pernah ada kendala. Justru yang menjadi kendala adalah sumber daya manusia (SDM), karena hampir setiap hari ada saja karyawan yang minta izin karena urusan adat dan lainnya,” kata ia.

Dia melanjutkan, jika ada order banyak dan karyawan ditawari kerja lembur, lebih banyak yang keberatan. Padahal jika kerja lembur, tentu uang yang didapatkan lebih besar.

“Anehnya justru tidak ada yang mau lembur. Ini repotnya jika ada order berlimpah. Kami sejauh ini menyiasati dengan cara setiap karyawan harus memiliki dua atau tiga ‘skill’ sehingga kalau ada order banyak, bisa mengerjakan beberapa hal,” ujar dia.

Andika menegaskan, meski ada kendala, tapi sudah menjadi komitmennya untuk melanjutkan tongkat estafet usaha uang kepeng ini agar berkelanjutan. Sebagai langkah melestarikan warisan budaya, sehingga uang kepeng tetap lestari keberadaannya.

“Keberadaan uang kepeng di Bali sangat penting untuk keperluan upacara agama maupun untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan patung dan hiasan rumah serta aksesoris. Dulu, uang kepeng ini didatangkan dari Negara Tiongkok dengan mengimpor, karena keberadaan uang kepeng di Bali makin hari kian langka dan juga harganya terus melambung tinggi,” kata ia menutup pembicaraan.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara