Komunikasi politik dalam membangun koalisi kedua bakal Capres kepada partai politik (Parpol), nampaknya bukan perkara mudah. Pasalnya, dalam menentukan Cawapres harus dapat disepakati di internal koalisi tersebut. Artinya, baik ramping suatu koalisi ataupun gemuk tidak dapat menjamin bebas dari konflik atau mudah bersepakat.
Seperti halnya yang dialami koalisi Jokowi, keingin Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin untuk dapat diusung sebagai Cawapres sempat menjadi salah satu syarat bagi partai berbasis Nahdlatul Ulama (NU) bergabung.
Bahkan, tidak terelakan ancaman akan meninggalkan koalisi Jokowi bila Cak Imin tidak mendapat kursi orang nomor dua, meski partainya berada dalam kabinet kerja.
Tidak hanya PKB, Partai Golongan Karya (Golkar) pun tidak lepas dari hal serupa. Partai yang memiliki perolehan suara terbesar nomor dua di Pemilu 2014, dan juga partai pengusung pertama Jokowi sebagai Capres 2019, merasa tidak akan menerima bila kemudian Cawapres justru tidak berasal dari golongan partai beringin tersebut.
Hal itu diperilihatkan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartanto yang tiba-tiba membuat maneuver politik dengan bertemu Ketua Umum DPP Partai Demokrat SBY. Alhasil, spekulasi ada kemungkinan Golkar membentuk poros alternatif di luar Jokowi dan Prabowo pun mencuat.
Pasalnya, dengan modal suara 14,75 persen, Golkar akan sangat mudah untuk mengusung paket Capresnya dengan Demokrat yang memiliki modal suara sebesar 10,19 persen.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio melihat potensi Partai Golkar keluar dari koalisi Joko Widodo di Pilpres 2019. Menurut dia, Golkar bisa saja membentuk poros baru bersama Partai Demokrat.
Hendri mengatakan, Airlangga bisa saja dipasangkan dengan Ketua Kogasma Partai Demokrat AHY. Hanya, masalahnya adalah umur putra Susilo Bambang Yudhoyono itu harus 40 tahun saat masa pendaftaran.
“Siapa yang bisa mencegah koalisi Golkar-Demokrat, Airlangga-AHY. Itu terjadi kalau misal Airlangga tidak diambil dengan tabungan 14 persen dengan Demokrat pasti akan mudah,” kata dia.
Hendri melihat sinyal kepindahan Golkar dari manuver Airlangga bertandang ke kediaman SBY beberapa waktu lalu. Meski usai pertemuan Airlangga dan SBY, Golkar disebut mengajak Demokrat berkoalisi dengan Jokowi, tapi dia melihat kebalikannya.
“Bamsoet bilang Airlangga ketemu SBY untuk ajak SBY koalisi, enggak mungkin, saya melihatnya kebalik, SBY 10 tahun jadi presiden yang bisa terjadi SBY ngajak Airlangga koalisi,” ucapnya.
Namun spekulasi tersebut langsung mendapat tanggapan. Politikus PDIP Puan Maharani misalkan. Ia yakin Golkar tidak akan menarik dukungannya dari Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
“Sampai sekarang Golkar menyatakan akan bersama Pak Jokowi. Itu yang kami pegang,” kata Puan di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (11/7/2018).
Airlangga Hartato bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (10/7/2018). Usai pertemuan, Airlangga menyatakan membahas banyak hal dengan SBY dan salah satunya mengenai rencananya maju menjadi bakal calon wakil presiden.
Kunjungan itu, kata Airlangga, merupakan hal biasa dalam politik. Sebab, politik merupakan komunikasi dengan siapapun dan kerja sama antarpartai selalu terbuka.
Angin konflik yang sama juga berhembus di internal koalisi Prabowo, baik mulai ancaman PKS yang akan abstain dalam Pilpres 2019 nanti. Dan yang paling hangat atas kicauan kekecewaan Partai Demokrat terhadap sikap Prabowo yang mungkin dinilai hanya memberikan harapan palsu kepada partai bintang mercy, untuk dapat menggandeng Sang Putra Sulung sebagai kandidat Cawapres terpilih.
Prabowo Subianto pun dinilai sebagai ‘Jenderal Kardus’ oleh elit Partai Demokrat. Hal itu disampaikan Wasekjen Partai Demokrat (PD) Andi Arief yang berang terhadap Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
“Prabowo ternyata kardus. Malam ini kami menolak kedatangannya ke Kuningan. Bahkan keinginan dia menjelaskan lewat surat sudah tidak perlu lagi. Prabowo lebih menghargai uang ketimbang perjuangan. Jenderal kardus,” kata Andi Arief, Rabu (8/8/2018).
Andi Arief mengatakan Prabowo mementingkan uang pada Pilpres 2019 ketimbang perjuangan. Andi Arief membawa-bawa nama Sandiaga Uno.
“Di luar dugaan kami, ternyata Prabowo mementingkan uang ketimbang jalan perjuangan yang benar. Sandi Uno yang sanggup membayar PAN dan PKS masing-masing Rp 500 M menjadi pilihannya untuk Cawapres,” sebut Andi Arief lagi.
“Benar-benar jenderal di luar dugaan,” pungkasnya.
Tidak berselang lama, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dengan santai menanggapi masalah pernyataan Andi Arief yang memojokan nama Prabowo.
“Nah itu biasa, saya kira dalam perjuangan selalu saja ada distorsi. Sehingga karena harapan terlalu tinggi, tiba-tiba mendengar ada realitas harapan yang tidak sesuai, terus kaget, terus mengungkapkan suatu pernyataan yang lompat,” kata Ahmad Muzani di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (8/8/2018) malam.

Padahal, sekitar dua bulan lamanya kemesraan antara Gerindra dan Demokrat diperlihatkan kepada publik. Bahkan, kemesraan itu banyak menimbulkan spekulasi politik mengenai kekuatan memenangkan Pilpres, meski partai ini akhirnya hanya akan berkoalisi dua partai saja.

Sebab, bila berdasarkan hasil kalkulasi suara keduanya, Gerindra dan Demokrat dapat membangun koalisi dan mengusung paket Capres dan Cawapresnya sendiri. Apalagi, faktor SBY yang pernah menjabat dua periode presiden, disebut-sebut akan sangat menguntungkan Prabowo Subianto memenangkan Pilpres 2019 mendatang.

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Ferry Juliantono misalnya. Ia sempat menyombongkan kemesraan sebagai kekuatan koalisi Demokrat-Gerindra.

Dia justru menganggap koalisi yang dibangun Jokowi lebih rentan pecah sebab jumlah partai yang tergabung terlalu banyak.

“Yang lebih terbuka kemungkinan (pecah) nya ada di kubu Pak Joko Widodo. Misalnya Golkar dengan PKB. Jadi kemungkinannya lebih terbuka di kubu Pak Joko Widodo,” kata Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Ferry Juliantono di Menteng, Jakarta Pusat (4/8/2018).

Namun, memasuki pembukaan masa pendaftaran 4-10 Agustus 2018 Capres dan Cawapres peserta Pemilu 2019 membuat deadline untuk mencari Cawapres pun kian memantapkan diri mengambil pendampingnya.

Bila merujuk pada perolehan suara partai di Pemilu 2014 lalu, dalam koalisi Prabowo, Demokrat memiliki suara besar ketimbang dua partai lainnya, yakni PKS maupun PAN.

Meskipun, suara partai bintang mercy tersebut belum dapat membuktikan, grassroot partai akan bekerja dalam memenangkan Pilpres 2019.

Begini Hitungan Peta Kekuatan Partai Koalisi

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang