Jika konstalasi hasil quick count bisa kita jadikan pedoman, maka pemilihan putaran kedua tak terelakkan lagi. Berarti, pasangan Ahok-Djarot akan head to head dengan Anies-Sandi.
Tentunya diharapkan pada putaran kedua antara paslon 2 dan 3 jangan tidak terjadi “permainan sabun” dalam arti adanya kesepakatan-kesepakatan yang tidak selaras antara kesepakatan yang terbangun di atas permukaan dan perilaku politik yang sesungguhnya di lapangan. Misal, di atas permukaan secara resmi pasangan Agus-Sllvi menyatakan dukungan terbuka terhadap Anies-Sandi. Namun di lapangan, sikapnya jauh panggang dari api.
Kita tentu berharap pasangan Agus-Silvi akan enblok suaranya ke Anies-Sandi. Tapi itu kan harapan dan masih di atas kertas.
Masih harus bikin perhitungan lagi yang lebih matang dan cermat, atas basis-basis dukungan Anies-Sandi yang memang benar-benar nyata.
Kalau Ahok memang secara geografis sangat mengandalkan basis basis dukungannya di Jakarta Barat dan Utara. Maka realitas politik tersebut rasa-rasanya memang cukup solid dan tidak mungkin berubah haluan. Sehingga secara realita politik pasti akan tetap enblok ke Ahok-Djarot.
Namun bagaimana dengan Anies-Sandi yang dapat dukungan lumayan besar dari Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan?Benarkah dengan teriliminasinya Agus-Silvi maka otomatis suara mereka berdua akan enblok ke Anies-Sandi?
Harapan sih boleh boleh aja, dan pastinya bagus sekali kalau memang demikian. Namun apa ikatan yang membuat otomatis suara Agus-Silvi ke Anies-Sandi?
Sayangnya kalau tidak hati-hati dan memahami betul peta bumu dukungan yang menjadi basis dukungan Agus-Silvi, maka tim pemenangan Anies-Sandi bisa terjebak dalam khayalan dan fantasi politik.
Kalau kita anatomikan daerah seputaran Mampang Prapatan dan Warung Buncit misalnya, di sana ada basis Islam cukup kuat seperti PPP dan PKB yang notabene merupakan partainya warga Nadhlatul Ulama (NU). Apakah otomatis ke Anies-Sandi hanya gara-gara Paslon I tersingkir di putaran kedua?
Sayangnya, kalaiu boleh jujur, mengapa PKB dan PPP pada waktu itu cenderung mengusung pasangan Agus-Silvi bukan karena mengidolakan putra mantan presiden SBY. Melainkan lebih karena resistensi kalangan warga tradisional Muslim khususnya NU, terhadap sosok Anies Baswedan yang mengesankan sosok orang modern dan berpendidikan tinggi. Dengan kata lain, Anies tercitrakan sebagai sosok yang elitis.
Di sini tim pemenangan Anies-Sandi harus bertumpu pada realitas politik dalam membuat penilaian strategis, sehingga harus mampu mengantisipasi skenario yang terburuk sekalipun. Sehingga tidak terjebak pada fantasi dan khayal politik.
Putaran kedua baru April mendatang, dan masih banyak waktu untuk kerja-kerja politik yang lebih intensif lagi.
Kelemahan paling krusial pada pasangan Anies-Sandi, kurang mengidentifikasikan dirinya dengan basis-basis tradisional dan elemen-elemen masyarakat yang sangat menaruh perhatian pada pemberdayaan masyarakat tradisional Betawi dan warga Muslim tradisional pada umumnya. Paslon 3 ini terlalu mencitrakan dirinya sebagai sosok orang-orang modern yang berpendidikan tinggi dan bercita-rasa sebagai warga metropolitan dan kosmopolitan.
Padahal, boleh suka atau tidak suka, basis-basis andalan pasangan Agus-Silvi punya pertautan erat dengan masyarakat dan organ-organ kemasyarakatan yang berbasis tradisional seperti Nadhlatul Ulama.
Apalagi ada satu fakta penting yang tak boleh diabaikan, bahwa SBY adalah cucu dari Kyai Mahfud, Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Sehingga tali-temali hubungannya dengan kalangan kyai maupun warga Muslim Tradisional, sudah terjalin cukup lama. Bahkan semakin terajut secara terorganisir sewaktu SBY menjadi perwira tinggi angakatan darat di bidang sospol dan teritorial semasa pemerintahan Suharto.
Di sinilah tugas berat tim pemenangan Anies-Sandi untuk merebut hati dan oikiran warga tradisional Muslim Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
Hendrajit, Pemimpin Redaksi Aktual