Jakarta, Aktual.com – Haji merupakan ibadah besar dan sulit, makanya berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang hanya dilakukan dengan satu cara, maka Allah SWT Memberi tiga cara pelaksanaanya:
1. Ifrad; melakukan haji kemudian umrah.
2. Tamattu’; melakukan umrah kemudian haji.
3. Qiran; melakukan keduanya.
Perbedaan kuat antara para ulama madzhab tentang cara yang paling afdhal dari ketiga cara di atas, membahagiakan masing-masing kita yang berhaji dengan berkeyakinan bahwa cara yang kita ambil adalah yang paling afdhal.
Ibadah haji sangat berat karena dalam pelaksanaaannya seseorang mesti keluar dari berbagai kebiasaan menikmati nyamannya fasilitas hidup yang dimiliki, kemudian berdesakan, berada di tengah keramaian orang yang sangat banyak dengan berbagai karakter yang berbeda. Saat kesulitan itu lah muncul akhlak dan kepribadian asli seseorang.
Para ulama fiqih membicarakan haji dari segi wajib secara materi dan kemampuan badan. Mereka membahas tentang sah atau tidaknya haji seseorang, sehingga gugur atau tidaknya kewajiban.
Sementara ulama tasawwuf membahas tentang apakah haji seseorang maqbul (diterima) Allah SWT atau tidak.
Perbedaannya jauh sekali antara sah dan maqbul.
Kapan haji itu maqbul?
Haji maqbul hanya didapatkan oleh mereka yang berakhlak mulia, karenanya dalam haji dilarang berbagai ucapan kotor dan hina.. Dilarang jidal (debat tak berujung) dst.
Makanya tak usah bersedih kalau kamu belum mampu berhaji!
Allah SWT Memberi kamu kesempatan untuk menyiapkan dirimu.. Mulailah dari sekarang untuk melatih diri agar beraklak yang baik, agar saat kamu berhaji nanti, akhlak yang keluar adalah yang baik-baik karena itu sudah menjadi kepribadianmu.
Mulai lah memperbaiki ahklakmu, sehingga suatu saat kamu mampu, maka ibadah hajimu langsung diterima-Nya.
Tidak usah lah bersedih ketika kamu belum bisa pergi melaksanakan haji.. Yakinlah kamu ada dalam do’a-do’a dari para hujjaj.. Ketahuilah bahwa amal ibadah orang-orang baik di antara umat Islam menjadi syafa’at untuk umat Islam yang berlaku tidak atau kurang baik.
—-
Diambil dari khutbah jum’at Maulana Syekh Yusri Rusydi hafizhahullah, 26 juli 2019, 23 dzulqa’dah 1440 H.
Hilma Rosyida Ahmad
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin