Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Kalbar Peduli KPK menggelar aksi Kamek Bersama KPK di Taman Digulis, Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (13/9/2019). Dalam aksi tersebut mereka menolak revisi Undang-Undang KPK dan mendesak Presiden Joko Widodo memenuhi janjinya untuk memperkuat KPK. ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/wsj.

Jakarta, Aktual.com – Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Lahirnya KPK tidak lepas dari komitmen kuat Habibie untuk penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Presiden kelahiran Pare-pare itu tidak hanya mendeklarasikan bahwa dirinya antikorupsi, namun dalam tindakannya pun hal itu dibuktikan dengan menolak untuk menjadi presiden sampai tahun 2003.

Padahal kalau ia mau bertahan hal itu sah secara konstitusi namun beliau tidak lakukan dan memilih untuk menjadi Presiden Republik Indonesia dengan masa yang sangat singkat yaitu 1 tahun 5 bulan atau 517 hari.

Mandat Reformasi
Sebagaimana kita tahu Indonesia hampir saja jatuh ke jurang kehancuran pada tahun 1998. Waktu itu kemarahan rakyat memuncak akibat praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotieme (KKN) yang merajalela dan merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tepat pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan mahasiswa dan seluruh elemen bangsa (Gerakan Reformasi 1998) Presiden Soeharto turun dari tahta kekuasaannya. Saat itu juga rezim Orde Baru (Orba) yang telah berkuasa selama 32 tahun berakhir digantikan dengan rezim reformasi yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie.

Lengsernya Soeharto dijadikan momentum oleh para tokoh bangsa untuk melakukan koreksi total terhadap Orde Baru yang menjadi penyebab utama keterpurukan bangsa. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara mengeluarkan ketetapan Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dimana genderang perang terhadap korupsi ditabuh. Selanjutnya, Tap MPR tersebut dituangkan dalam Udang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Bab VI Ketentuan lain-lain, Pasal 43 ayat (1) dinyatakan bahwa “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undangundang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Artinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah mandat seluruh rakyat Indonesia melalui Gerakan Reformasi.

KPK saat ini
Praktis ketika ketok palu Sidang Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019) yang memutuskan revisi Undang-Undang KPK dan Surat Presiden (Surpres) Presiden Joko Widodo Nomor R-42/Pres/09/2019 pada hari Rabu (11/9/2019) kepada DPR terkait Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka nasib KPK berada di ujung tanduk.

Jika Undang-Undang tersebut nanti disahkan, maka lembaga KPK tak ubahnya seperti Macan Ompong. Bagaimana tidak, jika KPK menjadi lembaga pemerintah dan pegawainya berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) maka KPK tidak akan independen lagi dan mudah diintervensi. Lainhalnya jika statusnya seperti saat ini yaitu sebagai lembaga negara yang independen. Belum lagi jika penyadapan harus izin Dewan Pengawas, maka akan sulit menyelidiki perkara-perkara besar apalagi melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Selain itu kriteria “Perkara yang mendapat perhatian masyarakat” juga dihapus dan kewenangan-kewenangan strategis lainnya seperti pengambilalihan perkara, pengelolaan LHKPN, pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan dan menghentikan transaksi juga dilucuti.

Inilah yang menjadi duka cita mendalam dikala harapan rakyat yang begitu besar kepada Presiden Jokowi untuk membawa bangsa ini keluar dari masalah korupsi sesuai dengan janji politiknya dalam Nawa Cita, yaitu “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat, dan terpercaya”, namun justru KPK mengalami pelemahan luar biasa dan dibuat tak berdaya.

Jasmerah
Presiden Soekarno dalam pidatonya pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1966 mengatakan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” atau dikenal dengan sebutan “Jasmerah”. Jika kita tengok lagi ke belakang betapa berdarah-darahnya para mahasiswa dan rakyat Indonesia kala reformasi 1998 berjuang untuk mendirikan KPK bahkan harus dengan berkorban nyawa, maka sudah selayaknya kita sebagai generasi penerus berkewajiban menjaga warisan pendahulu kita ini.

Presiden Habibie telah meletakkan pondasi awal berdirinya KPK diteruskan oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) dan selanjutnya disahkan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri pada tanggal 27 Desember 2002. Mari kita menjaga KPK, jangan sampai negara ini terpuruk kembali dan hancur karena korupsi.

Ditulis Oleh:
Sutarno Bintoro
Alumnus Universitas Trisakti

Artikel ini ditulis oleh: