Jakarta, Aktual.com – Frasa ‘pemufakatan jahat’ dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 15 UU Tipikor sepanjang tidak dimaknai ‘Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling sepakat melakukan tindak pidana’ juga dinyatakan MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK, Arief Hidayat, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9), frasa ‘tindak pidana korupsi’ juga bertentangan dengan UUD 1945.

Bukan hanya itu, frasa ‘tindak pidana korupsi’ sepanjang tidak dimaknai ‘tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14’ juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangannya, frasa ‘pemufakatan jahat’ untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor adalah rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir. Sebab tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat.

Apalagi Pasal 14 sama sekali menyatakan bukan ketentuan pidana, tetapi untuk membatasi lex specialis sistematis dalam tindak pidana korupsi.

Dalam pengantar pertimbangannnya, mahkamah menyatakan bahwa tujuan utama dari penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan merupakan antinomi nilai antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum yang keduanya berjalan seiring tanpa menafikan satu dari yang lainnya.

Kepastian hukum merupakan prinsip yang utama dalam penegakan hukum sebab merupakan suatu ukuran bahwa seseorang dapat dihukum karena telah melakukan pelanggaran/kejahatan. Demikian pula sebaliknya, kepastian hukum memberikan jaminan kepada siapapun subjek hukum tidak boleh dihukum apabila tidak melakukan pelanggaran/kejahatan.

“Kepastian hukum sekaligus untuk memastikan siapa pelaku yang sebenarnya melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan jangan sampai seseorang yang tidak melakukan kesalahan justru jadi korban penegakan hukum yang tidak benar,” kata hakim konstitusi Patrialis Akbar.

Karena itu pula, rumusan suatu norma hukum haruslah mengandung suatu kepastian hukum sehingga tidak multitafsir atau ditafsirkan sendiri secara kurang tepat oleh penegak hukum yang dapat merugikan seseorang yang diduga melakukan pelanggaran/kejahatan. Apabila suatu norma tidak memiliki kepastian hukum dapatlah dipastikan akan memakan korban ketidakadilan.

Dalam perbuatan tindak pidana, pemufakatan jahat para pihak harus sepakat untuk melakukan tindak pidana, harus mewujudkan rencana pemufakatan jahat tersebut baik untuk sebahagian saja ataupun secara keseluruhan, harus ada kerugian negara dan harus ada unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain ataupun korporasi.

“Apabila tidak demikian maka sama dengan mempidana kehendak atau niat tanpa perbuatan,” kata Patrialis.

Pasal 15 UU Tipikor, dalam pertimbangan MK merupakan rumusan yang menggambarkan adanya kriminalisasi yang tidak sempurna atau uncompleted criminalization karena hanya memuat sanksi pidana saja. itu pun, sanksi pidana yang merujuk ke dalam pasal-pasal yang lain yaitu sanksi pidana yang ada di dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Pemufakatan jahat dalam Pasal 15 juga membutuhkan kualitas tertentu untuk melakukannya yakni pegawai negeri atau penyelenggara negara. Jadi hanya pegawai negeri atau penyelenggara negara atau pejabat yang bisa melakukan itu. Sementara yang lainnya tidak memenuhi kualitas.

Hakim konstitusi juga berpendapat Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor adalah rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat. Apalagi ketentuan Pasal 14 itu sama sekali bukan ketentuan pidana, tetapi untuk membatasi lex specialis sistematis dalam tindak pidana korupsi.

Dari pertimbangan hukum itu, maka permohonan Novanto beralasan untuk dikabulkan bahwa Pasal 15 UU Tipikor secatas berkaitan dengan frasa ‘pemufakatan jahat’ bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan ‘dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana’.

 

*Sumitro

Artikel ini ditulis oleh: