Jakarta, Aktual.com — Ustad Muhamad Ghozali, MA, menuturkan, bahwa jin secara harfiyah berarti sesuatu yang tersembunyi. Allah SWT dalam Al Quran telah menjelaskan bahwa jin adalah salah satu makhluk ciptaan-Nya. Jin diciptakan dari nyala api sebagaimana disebutkan,
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya, “Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar Rahman : 15).
Jin adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan mempunyai fungsi yang sama dengan manusia sebagaimana dalam surat Az Zariyat ayat ke-56.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Dengan demikian tidak semua jin itu kafir, suka berbuat onar, munafik, dan hal negatif lainnya. Terdapat juga jin yang Muslim, hal ini dipertegas juga dalam Al Quran yang berbunyi,
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَٰلِكَ ۖ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
Artinya, “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.”(Al Jin : 11).
Sehingga dapat dipahami juga beberapa kejadian kesurupan yang menyebutkan jin yang masuk adalah jin Muslim, jin kafir, dan lainnya.
Ustad Muhamad Ghozali kembali menerangkan, beberapa kemungkinan bila ada orang yang mengaku dapat melihat jin. Bisa jadi orang tersebut berbohong, memang kesurupan jin, atau memang punya ilmu yang memasukkan jin ke dalam dirinya, sehingga dapat melihat jin sebangsanya.
Menurut Imam Syafi’i, apabila ada orang yang mengaku dapat melihat jin dalam bentuk aslinya, maka persyahadatannya tertolak karena sebenarnya hal ini termasuk kebohongan. Kalau diistilahkan dengan penampakan, maka hal ini dapat dimaklumi karena jin diberikan karunia oleh Allah SWT untuk dapat menyerupai apa saja dengan izin Allah SWT dan tidak lama (hanya sebentar).
Lanjut ia, apabila melihat penampakan, maka sebaiknya jangan lari dan langsung saja mengucapkan “basmalah”. Apabila penampakan itu masih ada, coba lempar sesuatu ke arahnya dan pastikan apakah ia benar gaib atau makhluk nyata. Jin juga sebenarnya bisa ditangkap tanpa perlu ilmu macam apa pun.
Ada sebuah kisah dari Abu Hurairah RA saat dirinya menjabat sebagai penjaga rumah zakat, dalam suatu Hadis panjang riwayat Bukhari. Diceritakan Abu Hurairah RA menangkap seorang kakek pencuri. Setelah mengakui kesalahannya dan memohon ampun karena keterdesakan kebutuhan keluarganya, maka ia dilepaskan lagi, tetapi keesokan harinya ia mencuri lagi, ditangkap lagi. Sampai ketiga kalinya tertangkap, akhirnya ia ditangkap, sebelum dilepaskan ia mengajarkan cara menangkal setan yaitu ayat kursi, ”Kalau engkau baca ayat itu, maka engkau akan terhindar dari gangguanku”.
Setelah itu Abu Hurairah RA pergi kepada Rasulullah SAW dan menceritakannya dan Rasulullah SAW membenarkannya khusus untuk membaca ayat itu. Sedangkan untuk yang lain-lainnya adalah kebohongan. Abu Hurairah tidak tahu bahwa yang mengajarkan itu adalah setan. Ia mengetahui bahwa kakek itu adalah setan setelah diberitahu oleh Rasulullah SAW. Dari Hadis tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa jin juga dapat dipegang dan ditangkap.
Setan, iblis, jin adalah satu sebenarnya, sehingga tidak ada istilah tersendiri.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ ۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ ۚ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (Al Kahf : 50)
Berdasarkan ayat ini, ditafsirkan beberapa pendapat bahwa iblis adalah segolongan Malaikat yang tidak sujud atau memang jin yang tidak sujud itu disebut Allah SWT semuanya adalah iblis. Namun, satu hal yang pasti bahwa iblis bukanlah makhluk sendiri, melainkan bagian dari golongan makhluk jin.
Berhubungan dengan jumlah iblis, iblis itu hanya ada satu dan dia adalah pemimpin dari para setan. Hal ini secara jelas telah diungkap oleh Allah SWT dalam surat Al Kahfi ayat 50 di atas, ungkapan iblis itu hanya satu.
Sedangkan, yang banyak itu adalah anak buahnya yaitu setan. Iblis bersumpah untuk menyesatkan manusia dengan tentara setannya dan sumpah ini dikabulkan oleh Allah SWT. Sehingga ia akan terus ada hingga nantinya Kiamat kelak, sehingga tidak bisa mati.
Setan yang melewati batas alamnya relatif mudah untuk dihadapi oleh manusia, begitu pula bila manusia yang sudah memasuki alam gaib, maka sulit untuk mempertahankan diri. Perbedaan antara dua dunia ini dapat dianalogikan dengan ikan yang berada di luar habitat airnya. Apabila tidak berada di habitatnya sendiri, maka ikan menjadi lemah tak berdaya. Hal ini yang dapat terjadi pada jin dan manusia apabila melewati batas antara dua dunia.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”(Al An’am : 112)
Maka, jelaslah sudah apabila ada jin setan yang membisikkan was-was sebagaimana juga disebutkan dalam An Naas bahwa ada setan berupa jin dan manusia yang membuat manusia was-was.
Ruh gentayangan itu sebenarnya tidak ada karena tidak ada ruh yang bebas berkeliaran setelah jasadnya wafat.
Allah SWT berfirman,
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Pada ayat Q. S.23 : 99-100, (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.”(Al Mu’minun : 99-100)
Di kesempatan yang sama, Ustad Ghozali kembali mengatakan, bahwa segala sesuatunya sudah terputus bagi seorang manusia yang telah meninggal. Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis bahwa jika anak cucu Adam meninggal, terputus amalnya, kecuali tiga perkara yaitu amal jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak shaleh.
Sehingga, apabila masih ada semacam makhluk menyerupai orang yang meninggal tadi dan mengganggu yang masih hidup, maka kejadian ini sangat tertolak dengan hadis sebelumnya.
Dalam surat Al Muthaffifin juga menyebutkan, bahwa ruh orang yang baik maupun buruk sudah terkekang dalam alamnya sendiri. Bisa jadi sebenarnya yang tampak seperti orang yang meninggal itu adalah setan atau qarin yang selalu mendampingi orang tersebut selama hidup.
Apabila ada penampakan roh gentayangan yang mengganggu dan berusaha menggoyahkan aqidah, maka bukan berarti ruh tersebut tertolak oleh Allah SWT dan dikembalikan ke dunia karena hal ini tidak mungkin terjadi.
Khodam secara harfiah berarti pembantu.
Istilah khodam dikenal di masyarakat dengan adanya kabar tentang Kiai yang mempunyai khodam berupa Malaikat.
Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(At Tahrim : 6)
“Dari ayat tersebut tersirat bahwa Malaikat tidak mungkin tunduk kepada manusia. Sehingga, patut dipertanyakan ibadah seperti apa yang menjadikan Malaikat tunduk kepada manusia. Kalau pun ada kelebihan tidak wajar yang dimiliki oleh para ahli ibadah itu, maka perlu diteliti apakah memang ibadahnya sesuai syar’i atau tidak. Bisa jadi memang kelebihan itu menjadi karomah yang diberikan Allah SWT, tetapi karomah tidak mungkin muncul berulang-ulang, dan orang yang mendapatkannya juga tidak merasakan sebagaimana mukjizat Nabi dan Rasul yang hanya bisa terjadi atas kehendak Allah SWT pada waktu-waktu tertentu. Kalau pun ada kisah Malaikat yang hendak memberikan perlindungan kepada Rasul, hal ini bukan berarti Malaikat tunduk pada Rasul, melainkan hal tersebut atas kehendak Allah SWT,” papar Ustad Ghozali, kepada Aktual.com, di Jakarta, Selasa (16/02).
Ia menerangkan, bisa jadi bahwa ada jin yang mengaku sebagai Malaikat yang mau menjadi khodam seseorang. Akan tetapi, untuk menentukan jin itu Muslim atau tidak bukanlah hal yang mudah. Karena sebagaimana kisah Abu Hurairah ada juga setan yang hafal ayat kursi. Hal ini berarti bahwa tidak serta merta jin yang bisa membaca Al Quran dan berbahasa Arab itu Muslim sebagaimana layaknya manusia kafir yang juga masih bisa membaca dan mengucapkan sesuatu dengan bahasa Arab.
Satu hal yang jelas dari sifat jin Muslim adalah dirinya tidak akan mau tunduk kepada manusia karena pada hakikatnya mereka dan manusia adalah sama seperti yang disebutkan dalam surat Az Zariyat ayat 56.
Jin yang mengaku khodam itu biasanya merupakan jin yang munafik. Jin tersebut juga akan meminta hal yang aneh-aneh dalam pengakuannya itu dengan pengelabuan seperti tapabroto, patigeni, dan lainnya. Bisa juga dalam permintaan semacam ibadah yang tidak wajar, seperti dzikir yang berlebihan dan hal janggal lainnya.
“Semoga kedepannya kita dapat membenahi pola fikir kita terhadap hal gaib dan yang perlu diingat mengimani hal gaib wajib akan tetapi dalam mengimani hal tersebut harus sesuai denga syariat islam yang mana telah tertulis dengan jelas di Al Quran dan Hadis,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: