Jejak Panjang Perlawanan Pelajar Dari Era Pra Kemerdekaan Hingga Kini Dituduh Anarko

Jakarta, aktual.com – Demonstrasi bertajuk “Bubarkan DPR” yang pecah di Jakarta sejak 25 Agustus 2025 kembali menegaskan jalanan sebagai ruang artikulasi politik rakyat. Aksi ini melibatkan masyarakat sipil, mahasiswa, buruh, dan—yang paling mencolok—para pelajar STM dan SMA.

Namun, kehadiran kelompok terakhir ini perlu mendapat sorotan serius. Sebab, alih-alih dipandang sebagai bagian dari denyut aspirasi rakyat, kehadiran barisan pelajar justru dijadikan alasan pembenar oleh aparat kepolisian untuk membubarkan massa.

Pada demonstrasi 25 Agustus 2025, Kapolres Jakarta Pusat Kombes Susatyo Purnomo Condro yang memimpin pengamanan di Kompleks Parlemen Senayan berulang kali menyebut situasi sudah “tidak kondusif” karena banyaknya pelajar di lapangan. Bentrokan pun tak terhindarkan sejak siang hingga malam: gas air mata dilepaskan, sejumlah pelajar ditangkap dan dipukuli, lalu dibawa ke Polda Metro Jaya.

Label Anarko yang Serampangan

Dalam konferensi pers di hadapan media, polisi melabeli para pelajar dengan cap “anarko”—istilah peyoratif yang dipakai serampangan, jauh dari makna teoritis maupun ideologisnya. Label itu berfungsi sebagai senjata delegitimasi. Padahal, dalam teori politik, anarkisme adalah tradisi intelektual panjang, dari Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, hingga Emma Goldman, yang berbicara tentang penghapusan hierarki menindas, solidaritas horizontal, dan kebebasan individu melalui komunitas.

Dengan melabeli pelajar sebagai “anarko”, aparat mereduksi protes sosial menjadi keributan tanpa makna. Padahal, pelajar turun ke jalan justru untuk mencari ruang ekspresi politik—ruang yang gagal disediakan sistem pendidikan dan kanal politik formal. Jalanan pun menjadi arena artikulasi terakhir. Stigma “anarko” lebih berfungsi membungkam ketimbang memahami.

Infantilisasi Politik

Keesokan harinya, orang tua berdatangan ke Polda Metro Jaya menjemput anak-anak mereka. Polisi baru melepaskan para remaja itu setelah orang tua menandatangani surat pernyataan. Pola ini bukan hal baru—pada aksi menolak “reformasi dikorupsi” 2019 maupun menolak Omnibus Law Cipta Kerja 2020, aparat juga melakukan hal serupa.

Sekilas, permintaan tanda tangan itu tampak seperti prosedur administratif belaka. Namun sesungguhnya, ia adalah strategi politik: pelajar tidak diperlakukan sebagai subyek politik, melainkan anak nakal yang harus dikembalikan ke pengawasan keluarga. Dengan cara ini, negara melakukan infantilisasi politik, menggeser aksi protes dari ranah politik ke ranah moral rumah tangga. Demonstrasi dianggap bukan protes sosial, melainkan kenakalan yang mempermalukan keluarga.

Surat pernyataan itu berfungsi ganda. Bagi pelajar, ia menimbulkan rasa malu—pulang dengan cap bersalah meski tanpa proses hukum jelas. Bagi orang tua, ia menjadi peringatan keras: jangan biarkan anak ikut aksi lagi. Negara pun berhasil menciptakan efek jera, bukan hanya pada pelajar, tetapi juga keluarganya. Dalam logika ini, keluarga dijadikan perpanjangan tangan aparat.

Jika ditarik lebih jauh, langkah ini adalah upaya delegitimasi. Negara menolak mengakui pelajar sebagai pemilik aspirasi politik sah. Demonstrasi mereka dipandang bukan sebagai protes atas ketidakadilan, melainkan keributan yang harus diredam dengan cara birokratis. Aparat bisa mengklaim sudah melakukan “pembinaan”, bukan represi, padahal substansinya tetap sama: membungkam kritik sosial.

Dengan demikian, surat pernyataan bukan sekadar formalitas. Ia adalah alat represi yang dibungkus bahasa administrasi. Ia menutup ruang pengakuan pelajar sebagai bagian dari civil society, mengubah aksi politik menjadi aib keluarga, dan pada akhirnya memperluas kontrol negara—dari jalanan hingga ke ruang paling intim dalam masyarakat: rumah tangga.

Sejarah Gerakan Pelajar

Cara negara memperlakukan demonstrasi pelajar terasa janggal, sebab sejarah menunjukkan sebaliknya: pelajar justru selalu hadir dalam momen-momen paling menentukan bangsa. Dari kebangkitan nasional, revolusi kemerdekaan, pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, hingga reformasi, pelajar adalah bagian penting dari denyut sejarah.

Sukarno, ketika masih berstatus pelajar HBS Surabaya, sudah berpidato di panggung Sarekat Islam. Mohammad Hatta, sejak remaja aktif di Jong Sumatranen Bond, lalu memimpin Perhimpoenan Indonesia di Belanda, dan pada 1928 berbicara lantang soal “Indonesia Merdeka” di forum internasional (De Tijd, 8 Maret 1928).

Gelombang itu memuncak pada Kongres Pemuda. Panitia dan peserta Kongres Pemuda II (1928) didominasi kalangan pelajar dan mahasiswa; forum ini menampilkan pembicara yang terkonfirmasi seperti Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro untuk isu pendidikan, serta tokoh-tokoh hukum-politik seperti Soenario dan Sartono pada sesi lain. Di penghujung kongres, W.R. Supratman memperdengarkan “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya—simbol bahwa suara anak muda telah menemukan nadanya sendiri. Sumpah Pemuda yang mereka sahkan lahir dari pengalaman bertahun-tahun mengasah pikiran dan suara di rapat-rapat pelajar.

Peran pelajar dan pemuda lain pun tumbuh: Jong Islamieten Bond (JIB) rutin menggelar rapat umum, sedangkan “Jong Indonesië”—yang melebur menjadi Indonesia Moeda pada 1930—menunjukkan kesadaran baru: identitas kebangsaan lintas suku dan agama.

TRIP dan Tentara Pelajar

Setelah proklamasi 1945, pelajar tak hanya berorasi, mereka juga mengangkat senjata. Dari Kongres Pelajar se-Jawa Timur di Malang (1946) lahir Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Beberapa tokohnya kelak menjadi jenderal penting, seperti LB Moerdani dan Sarwo Edhie. TRIP bertempur di Surabaya, Yogyakarta, Solo, Malang, hingga Madiun. Mereka ikut Palagan Ambarawa dan operasi gerilya. Usia mereka belasan tahun, tetapi keberanian mereka setara tentara reguler republik.

Di Yogyakarta, pelajar teknik mendirikan Tentara Genie Pelajar (TGP). Mereka membangun bunker, memperbaiki senjata, hingga memasang ranjau. Monumen TGP di Benteng Vredeburg menjadi saksi peran pelajar dalam mempertahankan republik.

Jejak peran itu tetap hidup. Banyak kota menamai jalan “Tentara Pelajar” sebagai pengingat bahwa mereka pernah mengangkat senjata mempertahankan republik. Nama jalan itu menegaskan suara pelajar bukan gangguan, melainkan bagian sah perjuangan bangsa.

Arsip Java-bode, koran Belanda yang terbit 29 September 1953, mencatat ribuan pelajar Semarang menggelar protes menentang kenaikan harga buku sehari sebelumnya. Mereka berdemonstrasi tertib di depan kantor gubernur, bahkan diikuti perwakilan Persatuan Toko Buku.

Santri dan Resolusi Jihad

Santri juga berperan penting. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 mengeluarkan Resolusi Jihad yang mewajibkan umat Islam melawan kembalinya kolonial Belanda. Ribuan santri muda pun turun ke jalan dan ke medan tempur, terutama di Surabaya pada 10 November. Dengan bambu runcing, mereka menjadi gelombang pertama perlawanan. Resolusi Jihad menegaskan bahwa pendidikan pesantren tak hanya mengajarkan kitab, tetapi juga membentuk kesadaran kebangsaan.

Menekan Orde Lama: KAPPI 1966

Dua dekade kemudian, pada 1966, pelajar SMA dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) memenuhi jalan-jalan Jakarta. Bersama mahasiswa KAMI dan KAPI, mereka menuntut Tritura: pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan harga. Arsip ANRI merekam ribuan pelajar berbaris di depan Istana Merdeka pada 3 Oktober 1966. Narasi Tritura menjadi momentum besar jatuhnya Orde Lama.

Jejak dari Reformasi hingga Kini

Dalam Reformasi 1998, pelajar SMA bergabung dengan mahasiswa menuntut lengsernya Soeharto. Mereka mungkin tak setenar tokoh mahasiswa, tetapi catatan lapangan membuktikan kehadiran mereka di Jakarta, Solo, dan Bandung. Gelombang berikutnya muncul pada September 2019, ketika ribuan pelajar STM memenuhi jalanan Jakarta menolak RKUHP dan revisi UU KPK. Mereka dianggap “liar”, tetapi keberanian menghadapi gas air mata menjadikan mereka simbol generasi muda yang tak apatis. Kini, 2025, pola itu kembali: pelajar hadir, aparat membubarkan, stigma disematkan. Padahal sejarah panjang menunjukkan hal sebaliknya: pelajar selalu menjadi bagian dari politik jalanan Indonesia.

Jangan Anggap Remeh

Kehadiran pelajar dalam demonstrasi sering dianggap remeh. Mereka dilabeli “penggembira” atau “pembuat kericuhan”. Padahal narasi semacam itu hanyalah bentuk arogansi yang menolak memahami kondisi sosial pelajar.

Bagaimana mungkin mereka bisa tenang belajar di rumah kontrakan sempit, dengan ayah pengemudi ojek daring dan ibu buruh cuci?

Keterbatasan mereka dalam merumuskan agenda perjuangan bukan berarti kehadiran mereka tidak penting. Justru itu cermin kegagalan sistem pendidikan yang selama puluhan tahun hanya melatih baca-tulis-hitung tanpa membentuk kesadaran kritis. Zaman kolonial pun serupa: sekolah modern dibangun untuk melanggengkan sistem kolonial, bukan mencerdaskan rakyat.

Itulah sebabnya Tan Malaka mendirikan Sekolah Sarekat Islam di Semarang, agar anak buruh dan tani bisa belajar berpikir kritis dan sadar akan penindasan. Dalam Dari Penjara ke Penjara, ia menulis:

“Sekolah-sekolah pemerintah memang mengajar membaca, menulis, dan berhitung. Tetapi sekolah itu tidak mendidik anak-anak kita menjadi manusia Indonesia yang merdeka. Mereka hanya mencetak pegawai-pegawai rendahan untuk kepentingan kolonial. Karena itu, saya mendirikan Sekolah Sarekat Islam, agar anak-anak kaum buruh dan tani bisa belajar berpikir sendiri dan menyadari keadaan bangsanya.”

Sekolah ini bukan sekadar ruang belajar, melainkan laboratorium kesadaran. Pendidikan, bagi Tan Malaka, harus melahirkan manusia kritis, sadar, dan berani melawan ketidakadilan.

Karena itu, meski pelajar belum mampu merumuskan gagasan politik utuh, kehadiran mereka tetap bagian dari civil society. Energi mereka adalah energi mentah yang perlu dibimbing, bukan dimatikan. Tugas mahasiswa, serikat buruh, komunitas sipil, dan intelektual adalah merangkul, mendidik, membuka ruang dialog, dan memberi kerangka agenda perjuangan.

Pelajar bisa dirangkul sebagai mitra: mula-mula dalam aliansi taktis, kemudian strategis, bahkan ideologis. Jangan biarkan stigma menutup potensi itu. Sejarah sudah berulang kali membuktikan—pelajar bukanlah elemen asing dalam pegerakan. Mereka bagian sah dari denyut perubahan bangsa.

 

Penulis: Jay Akbar, wartawan berpredikat sejarawan, meraih gelar sarjana Ilmu Sejarah di Universitas Diponegoro Semarang

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi