Den Haag, Aktual.com – Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte sudah menjalani penahanan di penjara khusus para tersangka dan terdakwa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yakni Penjara Scheveningen. Duterte langsung menjalani penahanan setiba di Kota di Den Haag Belanda pada Rabu pagi (12/3), ia ditahan sambil menunggu proses persidangan hingga vonis dijatuhkan.

Jika dalam persidangan terbukti bersalah melakukan kejahatan kemanusiaan terkait kampanye anti narkoba yang dilakukannya selama menjadi presiden Filipina, maka Duterte bisa menghadapi hukuman maksimal penjara seumur hidup.

Usai penangkapan dan penahanan terhadap Duterte, Kepala Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional
Karim Asad Ahmad Khan atau yang biasa disapa Karim Khan angkat bicara. Dilansir dari Globalnation-Inquirer, ia mengatakan bahwa surat perintah penangkapan ICC telah dilaksanakan adalah ’hal penting bagi para korban’.

”Saya pikir itu sangat berarti bagi para korban. Banyak yang mengatakan bahwa hukum internasional tidak sekuat yang kita inginkan, dan saya setuju dengan itu. Namun, seperti yang saya tekankan berulang kali, hukum internasional tidak selemah yang dipikirkan sebagian orang,” demikian pernyataan Khan.

Pernyataan Khan tersebut merespons kritikan sejumlah pihak bahwa ICC tidak punya kekuatan untuk menangkap pelaku kejahatan kemanusiaan yang merupakan kepala negara. ICC dinilai baru bisa menangkap pelaku jika suatu negara menangkap dan menyerahkan sendiri pelaku ke peradilan internasional tersebut.

Di antara contoh kasus adalah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang masuk dalam daftar tangkap oleh ICC. Kedua kepala negara itu hingga kini masih bebas berkeliaran di negaranya sendiri maupun di beberapa negara asing, lantaran negara tersebut tak bersedia bekerja sama dengan ICC.

Khan sendiri optimistis dengan penangkapan Duterte bahwa ICC akan jadi pengadilan dunia yang akan diperhitungkan demi keadilan. ”Jika kita bersatu untuk bekerja bersama, aturan hukum akan bisa ditegakkan,” tandas Khan.

Terkait pelayanan medis, seperti dilansir dari The Hindu, ICC memastikan bantuan medis disediakan ’sebagai tindakan pencegahan’ di bandara setiba Duterte di Den Haag, hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur standar saat seorang tersangka tiba. Namun ICC sejauh ini tidak mengomentari kondisi kesehatannya.

The Hindu juga melaporkan, sebuah ambulans melaju ke hanggar tempat pesawat yang membawa Duterte tiba, selanjutnya petugas medis mendorong brankar ke dalam. Sebuah helikopter polisi terbang dekat bandara, dan kemudian sebuah SUV hitam terlihat meninggalkan bandara didampingi aparat polisi. Tujuannya belum jelas. Di saat yang sama, massa pendukung Duterte, maupun para keluarga korban berkumpul di luar pusat penahanan untuk tersangka ICC.

Untuk diketahui, dalam beberapa hari, Tn. Duterte akan menghadapi sidang perdana dimana pengadilan akan mengkonfirmasi identitasnya, memeriksa apakah ia memahami tuduhan terhadapnya dan menetapkan tanggal sidang untuk menilai apakah jaksa memiliki cukup bukti untuk mengirimnya ke pengadilan penuh.

Sementara itu, sejumlah kelompok hak asasi manusia dan keluarga korban memuji penangkapan Duterte. ”Ini adalah langkah monumental dan sudah lama ditunggu-tunggu demi keadilan bagi ribuan korban dan keluarga mereka,” kata Jerrie Abella dari Amnesty International.

”Oleh karena itu, ini merupakan pertanda harapan bagi mereka, juga di Filipina dan di luar negeri, karena ini menunjukkan bahwa para tersangka pelaku kejahatan terburuk, termasuk para pemimpin pemerintah, akan diadili di mana pun mereka berada di dunia,” lanjut Abella.

Sedangkan Emily Soriano, ibu dari salah satu korban tindakan keras tersebut, mengatakan ia menginginkan lebih banyak pejabat yang diadili. ”Duterte beruntung dia memiliki proses hukum yang semestinya, tetapi anak-anak kita yang terbunuh tidak mendapatkan proses hukum yang semestinya,” kata Emily.

Untuk diketahui, ICC membuka penyelidikan pada tahun 2021 terkait pembunuhan massal yang terkait dengan apa yang disebut perang melawan narkoba yang digagas Duterte saat ia menjabat sebagai Wali Kota Davao di Filipina selatan dan kemudian sebagai Presiden Filipina sejak Juni 2016 hingga Juni 2022.

Perkiraan jumlah korban tewas dalam kampanye anti narkoba itu lebih dari 6 ribu sebagaimana dilaporkan kepolisian Filipina, hingga sekitar 30 ribu orang seperti yang disebutkan berbagai kelompok hak asasi manusia. Dalam kampanye anti narkoba itu, para pengguna, pengecer kecil, pengedar, hingga bandar besar narkoba tewas dibunuh. Namun terungkap banyak juga korban salah sasaran.

Hakim ICC yang memeriksa bukti penuntutan yang mendukung permintaan mereka untuk penangkapannya, dalam surat perintah penangkapan menyebutkan ’alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa Duterte secara individu bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan sebagai pelaku tidak langsung karena diduga mengawasi pembunuhan tersebut ketika ia menjabat sebagai wali kota Davao dan kemudian menjadi presiden Filipina’.

(Indra Bonaparte)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain