UU Pokok Agraria Telah Menjadi Album Kenangan?

Edwin dan korban lainnya tak tinggal diam dan membawa masalah ini ke pengadilan. Sayangnya, praktik ‘sulap’ juga terjadi di meja hijau.

Putusan pengadilan sendiri telah mengabulkan gugatan Edwin. Sayangnya, hingga kini belum sekalipun putusan itu dieksekusi oleh pihak berwenang.

Bahkan, kata Edwin, surat kepemilikan tanah yang menjadi bukti di pengadilan, justru dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang disebutnya sebagai kepanjangan tangan para mafia tanah itu.

“Barang bukti dibawa ke developer, tapi putusan pengadilan jelas (mengabulkan gugatan),” tegas Edwin.

Beberapa lama setelah putusan keluar, ia mencari keadilan melalui Kejaksaan Agung. Meskipun sempat membawa secercah harapan karena ditemui penyelewengan dalam proses eksekusi, namun hingga kini proses eksekusi masih menjadi harapan belaka.

“Eksekusi ini kan tetap melibatkan orang-orang di lapangan. Misalnya saya menang, lalu yg kalah ini punya teman di DPR atau pejabat lain. Anggota DPR atau pejabat di BPN ini yang menghambat eksekusi putusan pengadilan,” jelas Edwin.

“Sampai sekarang saya sebenarnya sudah enggak percaya siapa-siapa lagi, sudah malas bahas ini. Gimana lagi, saya sudah habis-habisan di sini,” tambahnya.

Ia pun sangat menyesalkan sikap pemerintah yang hingga kini belum berubah, meskipun telah dipimpin oleh orang yang berbeda. Padahal, dasar hukum tentang masalah ini telah ada sejak era Bung Karno, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, atau UU PA.

“UU PA kita sudah sangat bagus sebenarnya, sudah standar internasional, tapi sayangnya dari 1960 sampai sekarang amanah UU itu belom bisa dijalankan oleh negara,” papar Edwin.

“Dari pengalaman ini, saya memperingatkan semua warga negara yang memiliki sertifikat hak milik tanah agar hati-hati. Karena tanah mereka dapat dicaplok sewaktu-waktu,” sambung pria berdarah Manado ini.

Sama halnya dengan Edwin, seorang pria uzur bernama Robert Sudjasmin pun mengaku bahwa tanah miliknya telah diserobot oleh mafia tanah.

Menurut Robert, tanah miliknya yang berlokasi di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, didapatnya melalui lelang negara pada 1990. Luasnya mencapai 8.300 meter persegi.

“Kita ini silent majority, enggak berdaya,” kata pria keturunan China ini.

Saat membeli tanah dalam sebuah lelang negara, Robert mengaku tak memiliki firasat bahwa dirinya akan menjadi korban operasi mafia tanah.

Namun, beberapa lama setelah proses lelang, ia menyadari keanehan lantaran nihilnya surat-surat terkait kepemilikan tanah itu.

“Mereka bilang ‘kita fight di pengadilan saja’. Mereka pasti akan lari ke pengadilan karena di pengadilan itulah mereka bisa atur hasilnya,” kisah Robert.

“Pengacara kita dibeli semua (oleh mafia tanah), saya enggak tahu itu dulu,” tambahnya.

Tak berbeda dengan Edwin, Robert pun mengaku telah mencoba segala upaya untuk mengembalikan tanah miliknya. Bahkan, ia telah bertemu dengan pejabat tinggi negeri ini.

“Saya punya surat wapres tapi enggak ngaruh apa-apa,” ujar Robert.

Lebih lanjut, ia mengaku masih menaruh sedikit harapan kepada Presiden Joko Widodo agar menegakkan keadilan di Indonesia. Menurutnya, masalah sengketa lahan di tanah air dapat saja selesai jika orang-orang sekeliling Jokowi sama baiknya dengan pria asal Solo itu.

“Misalnya Kepala BPN itu Sofyan Jalil, itu siapa di belakangannya, kita kan tahu,” kata Robert.

“Saya sendiri orang China, tapi saya juga benci sama sembilan naga,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan