Jakarta, Aktual.com —Perselisihan pendapat antarmenteri di ruang publik membuka watak dasar kabinet koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yakni koalisi kepentingan tanpa visi (ideologi).

Kendati pada titik keberangkatannya, pasangan ini menjanjikan koalisi ramping tanpa syarat dengan konsepsi ideologis yang kental dalam sesanti Nawacita, namun dalam praktiknya jauh panggang dari api. Pemerintahan ini seperti menanggung beban hutang politik yang besar untuk segera dilunasi kepada para “investor” dengan mengakomodasi kaki-tangannya di kabinet.

Akibatnya, yang muncul adalah kabinet gado-gado yang dipersatukan oleh kepentingan pragmatis tanpa kesamaan visi ideologis. Sejak itu, konsepsi ideologi Nawacita tidak menemukan basis institusionalnya untuk bisa diwujudkan dan lekas menjelma sebagai pepesan kosong. Menteri-menteri berhaluan liberal yang ramah kepentingan asing seperti Menteri ESDM dan menteri perdagangan bersanding dengan menteri-menteri berhaluan kedaulatan nasional seperti Menko Kemaritiman dan Menteri Pertanian. Dalam era kebebasan berpendapat dan informasi, konflik laten dalam kabinet ini meledak keluar memanifestasikan konflik terbuka yang membingungkan nalar publik.

Dimensi lain yang menambah potensi konflik dalam kabinet ini adalah kehausan menteri-menterinya untuk mengembangkan politik pencitraan. Obsesi besar untuk merekayasa pencitraan ini mencerminkan menguatnya kesadaran individualistik sebagai konsekuensi dari merosotnya kewibawaan pusat teladan.

Ketika banyak orang mulai kehilangan kekaguman pada “nama-nama besar”, secara insinktif mereka mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri. Banyak menteri yang mematut-matut dirinya sebagai pemimpin besar. Masalahnya, bangkitnya kesadaran individualistik dan kekaguman pada diri sendiri ini tidak didukung oleh kerangka sosialitas yang dapat mengembangkan otonomi dan karakter individu. Dalam lemahnya kepastian hukum dan ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh keharusan keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis, bukan subyek berdaulat yang bisa mengambil jarak dari tradisi buruk.

Kumpulan individu-individu guyub tak dapat melahirkan masyarakat kreatif. Kreativitas sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. “The amount of eccentricity in a society,” ujar John Stuart Mill, “has generally been proportional to the amount of genius, mental vigor and moral courage it contained.” Bahwa saat ini, Indonesia mengalami defisit orang-orang eksentrik berkarakter yang memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan dan keberanian moral untuk mengambil pilihan sendiri di luar kelatahan dan tekanan luar, merupakan pertanda buruk bagi bangsa ini.

Dalam lemahnya kekuatan karakter, imaginasi dan orisinalitas, obsesi politik sebagai ekspresi pemujaan diri lebih menguatkan semangat komodifikasi yang reseptif dan konsumtif, ketimbang sebagai ekspresi subyek kreatif dan produktif. Dunia politik dan kabinet disesaki onggokan politikus plastik, kehebohan aksi selebritas, dan jor-joran pencitraan, tetapi miskin isi, miskin visi, hampa darma.

Perilaku elit politik dan menteri-menteri tersebut sangat menggelisahkan. Berdasarkan pengalaman berbagai negara, yang paling bertanggungjawab atas keruntuhan suatu demokrasi bukanlan orang-orang biasa melainkan perilaku elit politik (Bermeo, 2003). Sumber utama krisis politik di negeri ini tidaklah terletak pada ”sisi permintaan” (demand side), seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya, sumber krisis politik itu berasal dari kelemahan ”sisi penawaran” (supply side); dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Dengan meminjam ungkapan Bung Karno, para pemimpin kita gagal membangkitkan spirit, kehendak, dan perbuatan rakyat.
Politik dan pemerintahan tanpa visi ideologis tak menyediakan basis nilai dan harapan.

Dampaknya segera terlihat dalam watak kabinet. Pola koalisi dan oposisi tidak solid. Para pemimpin partai dan menteri-menteri sibuk bermanuver politik secara zig-zag, tanpa beban berganti-ganti posisi etis. Partai-partai yang bercorak liberal rela bersanding dengan partai-partai bercorak illiberal. Rujukan koalisi bukanlah titik temu dalam nilai dan visi, melainkan semata-mata berdasarkan alokasi sumberdaya dan kursi. Platform yang disusun secara serabutan diajukan sekadar alat justifikasi.

Tanpa kejelasan visi, politik kehilangan peta jalan ke arah mana masyarakat akan diarahkan, prioritas nasional apa yang akan dipilih, fokus pembangunan apa yang akan disasar, dan akhirnya pengorbanan apa yang dituntut dari rakyat. Politik tanpa visi sekadar kemeriahan pesta pora yang menyesatkan; memberi harapan semu dengan biaya mahal, tanpa arah ke depan, tanpa perenungan mendalam, dan tanpa komitmen pada penyelesaian masalah-masalah mendasar.

Tetapi ada luapan bawah sadar yang mencerminkan kejenuhan banyak orang dengan politik permukaan dan mulai berpaling ke politik pendalaman. Meski untuk sementara waktu, bagi kebanyakan rakyat yang dibelit kesulitan hidup, perhatian pada segi-segi pendalaman-struktural ini masih bisa terpalingkan oleh godaan stimulasi permukaan-inkremental. Tendensi ini bisa dilihat dari kecenderungan figur politik yang di awal era reformasi menjadi pesakitan, sekarang diperlakukan bak pahlawan, karena kekecewaan publik kritis terhadap figur lain yang berpopularitas tinggi tetapi tak menjanjikan pendalaman.

Pada tingkat yang lebih bernalar, kita juga bisa melihat adanya arus besar kesadaran publik untuk merestorasi rancang bangun kenegaraan yang sejalan dengan basis sosial dan kepribadian bangsa. Salah satu indikasi dari kesadaran ini adalah mencuatnya kehendak publik untuk memulihkan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang dirumuskan dan ditetapkan kembali oleh seluruh kekuatan rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Untuk mengantisipasi ekspektasi publik pada substansi demokrasi, tantangan politik ke depan bagaimana mengembangkan pendalaman visi sambil mengendalikan potensi pertikaian dalam politik. Dalam kaitan ini, ada postulat demokrasi yang harus diikuti. Bahwa bila ada masalah dalam demokrasi, solusinya bukanlan dengan jalan menguranginya, melainkan justru dengan jalan menambahnya agar lebih demokratis.

Untuk itu, perlu ada proses pendalaman dan perluasan demokrasi. Pendalaman demokrasi diarahkan untuk menyempurnakan institusi-institusi demokrasi agar lebih sesuai dengan tuntutan kepatutan etis, lebih responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat; mengurangi sifat narsisme politik yang hanya melayani segelintir elit politik. Sementara perluasan demokrasi diarahkan agar institusi demokrasi dan kebijakan politik punya dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat serta mengurangi kesenjangan sosial yang dapat melumpuhkan demokrasi.

Pintu masuk ke arah itu bisa dimulai lewat penataan kerangka koalisi. Pembentukan koalisi tidak hanya berdasarkan pertemuan kepentingan, atau segi-segi sentimentil dalam relasi antar elit, melainkan berbasis komitmen bersama dalam kerangka nilai dan visi. Dalam kerangka ini, kompetisi politik bukanlah sekadar pertarungan popularitas figur, melainkan pertarungan dalam pasar gagasan. Jika visi yang dipertaruhkan, para kandidat tak perlu merasa kecil atau tinggi hati. Mereka perlu menghayati dirinya sebagai pahlawan yang memperjuangkan nilai luhur apapun risikonya. Jika visi ini secara jujur diperjuangkan dengan kemampuan komunikasi politik yang bersambung dengan pemahaman publik, rakyat punya kepekaan nuraninya tersendiri. Sekalipun kalah, secara moral menang.
“Kontestasi politik,” ujar Winston Churcill, “sama bahayanya dengan peperangan, bahkan lebih berbahaya. Dalam peperangan, orang hanya bisa mati satu kali; sedang dalam kontestasi politik, orang bisa saja mati berkali-kali”.

Kematian politik selalu menyisakan harapan hidup dan menghidupkan. Bagi si pecundang, kekalahan bisa saja kemenangan yang tertunda. Bagi si pemenang, pihak yang kalah menghadirkan tekanan yang bisa membangkitkan kreativitas daya hidup. Dalam demokrasi yang bervisi, pihak-pihak yang kalah tidak harus mencari kehormatan dengan harga murah kepada sang (calon) pemenang. Mengonsolidasikan diri sebagai oposisi untuk mempersiapkan kemenangan esok hari jauh lebih terhormat.

Demokrasi adalah kemenangan semua pihak. Yang menang dan yang kalah punya perannya sendiri, punya ruang kehormatannya sendiri-sendiri. Semuanya bekerja untuk tuan yang sama: sang demos (rakyat).

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual