Jakarta, aktual.com – Syekh Ibnu Athoillah berkata dalam Hikam-nya:

قَطَعَ السَّائِرِيْنَ لَهُ وَالْوَاصِلِيْنَ إِلَيْهِ عَنْ رُؤْيَةِ أَعْمَالِهِمْ وَشُهُوْدِ أَحْوَالِهِمْ، أَمَّا السَّائِرُوْنَ فَلِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَحَقَّقُوْا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيْهَا، وَأَمَّا الْوَاصِلُوْنَ فَلِأَنَّهُ غَيَّبَهُمْ بِشُهُوْدِهِ عَنْهَا

Allah memutus (menghalangi) pandangan saa-irin (orang-orang yang sedang menempuh jalan) kepada-Nya dan washilin (orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya) dari melihat amal mereka dan melihat kekuatan diri mereka. Adapun orang-orang yang yang sedang menempuh jalan kepada-Nya, mereka belum sungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah. Adapun bagi orang yang telah sampai kehadirat-Nya itu karena Allah menghalangi pandangan mereka atas amal ibadah mereka.

Maka perlu untuk berdoa:

اللهم اجعلني من أولياءك و من أهل طاعتك

Allahummaj’alnii min awliyaika wa min ahli tho’atika

“Yaa Allah jadikanlah kami bagian dari kekasihmu dan ahli taat kepadamu)”,

Karena seorang wali masih berpotensi untuk tergelincir ke jurang kesalahan.
Seseorang yang tidak memiliki guru dalam proses kemakrifatannya dia kepada Allah bisa tertipu, mungkin dengan ujubnya atau dirinya melihat amalnya (merasa amalannya muncul dari dirinya).

“Saya selalu mengingatkan seseorang itu bisa iman dengan terang benderang, bisa juga terjun ke dalam kegelapan kemaksiatan. Oleh karena itu penting sekali bagi kita untuk memohon kepada Allah agar diberi ketaatan supaya tidak tergelincir ke dalam kemaksiatan yang gelap,” ungkap KH. M. Danial Nafis.

Imam Syadzili pernah mengatakan:

“Jangan engkau pernah merasa nyaman dengan kedudukan”.

Maksudnya adalah jangan sampai merasa engkau telah sukses di satu titik sehingga membuatmu lalai akan tujuan yang hakiki.

Apa tandanya amalan kita diterima Allah? Yaitu lupanya engkau akan amal kebaikanmu, artinya tidak pernah mengungkit-ungkit kebaikan yang telah kau perbuat. Jadi kalau kita masih mengingat-ingat amal kita, berarti amal kita berpotensi belum diterima Allah.

Doa Nabi Khidir:

بِسْمِ الله مَاشَاءَ الله لاَ يَسُوْقُ الْخَيْرَ إِلاَّ الله بِسْمِ الله مَاشَاءَ الله لاَ يَصْرِفُ السُّوْءَ إِلاَّ الله بِسْمِ الله مَاشَاءَ الله مَاكَانَ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ الله بِسْمِ الله مَاشَاءَ الله لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله

Jika doa tersebut didalami dan diresapi dengan baik niscaya pintu-pintu makrifat akan terbuka untuk dirimu.

Jadi mursyid itu bukan karena banyak wirid zikirnya, tapi wirid amalnya. Sejauh mana seseorang difitnah dan diuji dengan pahit getirnya kehidupan sehingga membentuk pribadi yang tidak goyah ketika dicaci dan dipuji manusia serta tidak merasa banyak ibadah.

وقال علي زين العابدين رضي الله عنه !! كل شئ من افعالك إذا اتصلت رؤيتك فذلك دليل علي أنه لا يقبل.

“Imam Ali Zainal Abidin radhiyallahu ‘anhu berkata: setiap sesuatu yang terpancar dari perbuatan/amalmu jika kau masih ingat-ingat amal dan merasa dari dirimu, yang demikian menunjukan bahwa amalmu tidak diterima,”.

Diam dan geraknya para washilin itu adalah karena Allah, sebab dia meyakini bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak diberikan pertolongan Allah dan meyakini bahwa apa yang ia perbuat itu diciptakan oleh Allah sehingga tidak merasa jumawa dan ujub akan dirinya.

Orang yang menjalani laku tarekat, harus besar hati serta diimbangi rasa takut (khauf dan berharap (rojaa).

Imam Qusyairi radhiyallahu ta’alaa ‘anhu dalam Risalah Qusyairiyah membedakan antara maqam khauf dan rojaa. Adakalanya orang itu maqam khauf itu ketika awal taubat/hijrah, dia merasa beban masa lalu dirinya menjadi beban bagi dirinya menuju Allah Swt, sehingga dia beribadah dalam ketakutan kepada Allah.

Tak hanya itu, banyak sahabat dan tabiin ketika membaca ayat yang menjelaskan ancaman Allah ta’alaa takut dan menangis.

“Sudahkah istighfar, sholawat dan bacaan tahlil (wirid asasi)mu bakda subuh dan magrib sudah seperti makan nasimu (hal yang pokok bagi dirimu)?. Jika kamu meninggalkan wirid asasi tidak merasa lapar perut bathiniyahmu maka kamu masih dalam hijab kedirian dan belum merasakan pentingnya wirid asasi bagi dirimu yang perlu kamu lakukan,” ucapnya.

“Takutlah dirimu kepada Allah dalam istighfarmu karena merasa belum optimal, tapi susullah dengan Alhamdulillah. Karena Allah masih memberimu getaran untuk taubat dan wirid dan diakhiri dengan hauqalah (laa haula walaa quwwata illa billah). Sehingga dalam ujian kehidupan baik kerugian maupun keuntungan kamu meyakini bahwa itu semua kehendak Allah,” lanjutnya.

Mungkin secara persepsi orang dirimu sedang merasakan kekalahan atau kerugian duniawi, tapi engkau bisa intropeksi diri bahwa dengan hal yang demikian menjadikan dirimu bisa fokus beribadah kepada Allah. Bukankah itu keuntungan yang hakiki.

Dan takutlah kamu akan kesombongan dalam ibadahmu dengan melanggengkan istighfar, sebab bisa mengucapkan istighfar merupakan nikmat dari Allah. Banyak di luar sana yang Allah tidak izinkan mereka untuk mengucapkan istighfar dan sujud kepada-Nya. Sehingga patut bagi kita untuk bersyukur “Alhamdulillah” atas istighfar yang Allah berikan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain