Siapa Rugi, Siapa Untung?
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia, Willy Sakareza menilai produk yang dikeluarkan Bank Indonesia seharusnya menjadi solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat saat ini. Apabila produk tersebut tidak memecahkan permasalahan yang ada, hanya akan menjadi beban bagi masyarakat.
“Kalau GPN mau sukses, di standarkan terlebih dahulu, rincikan lebih dahulu. Pasalnya, nanti apabila pada akhirnya sistem GPN tidak bagus, pasti konsumen akan membandingkan dengan sistem sebelumnya. GPN akan terlihat jeleknya seperti apa, sedangkan nilai baiknya seperti apa justru malah tidak nampak,” jelasnya.
Menurutnya, produk yang bagus bisa memberikan solusi sistem pembayaran. ”Sedangkan GPN itu apa problem yang dipecahkan? murah? tidak begitu murah juga. Bahkan sampai sekarang ada merchant yang membebankan biaya 3 persen untuk transaksi menggunakan kartu meskipun dilarang BI,” jelasnya.
Selain itu, dirinnya juga mempertanyakan GPN sebagai solusi sistem pembayaran apakah mempunyai scalability yang kuat apabila terjadi transaksi besar-besaran dalam hitungan detik. Pasalnya, Bank dalam negeri pernah mendadak offline karena kelebihan kapasitas yang berakibat merugikan nasabahnya sendiri.
“Kalau tidak memiliki standar tinggi/global, jangan dipaksakan dong,” jelasnya.
Menurutnya, Bank Indonesia seharusnya bisa merinci lebih detil dan membuat GPN lebih bagus dari sistem sebelumnya. Begitu pula stakeholder seharusnya menyasar 60 persen konsumen yang belum terakses perbankan, bukan yang ada mengubah non GPN menjadi GPN. Lebih bagus lagi, GPN diterapkan lebih dahulu di wilayah timur yang Bankable (masyarakat punya akses perbankan) masih rendah sekaligus memperluas akses perbankan daerah.
“Kenapa sih bank tidak fokus saja ke penetrasi masyarakat yang belum bankable. Indonesia ini kan baru 40% saja penduduknya yang bankable. Artinya apa, ada 60% penduduk yang bisa dijadikan sasaran agar memiliki akses ke bank melalui GPN. Ketimbang meminta yang non-GPN pindah ke GPN, lebih mending pemerintah fokus ke yang ceruknya lebih besar ini,” kata dia.
Selain itu menurut dia, mestinya diperjelas terlebih dahulu aturan main GPN ketimbang nekat memaksakan namun berhujung kerugian.
“Pertama, aturannya seperti apa harus diperinci. Misalkan asing (Visa dan Mastercard) sudah bagus 90 persen, maka kita harus 91 persen. kalau bertahap, sekarang 80, nanti 85, kemudian 90 ya konsumen dan merchant jangan dipaksa menggunakan GPN, biarkan organik saja, atau pakai promo. Kalau benar-benar belum siap, setidaknya diperbaiki dulu. Tes dulu, jangan main nasional tapi regional atau daerah dulu, misalnya daerah timur yang penetrasi bank belum bagus. Itu namanya spirit Problem solving,” jelasnya.
Peneliti Indef, Eko Listiyanto mengungkapkan perbankan tentu tidak mau merugi terkait efek samping dari kebijakan kartu debet berlogo GPN. Biaya yang dikeluarkan dari operasional dan produksi kartu tersebut lambat laun akan dimasukkan dalam beban nasabahnya.
“Tentu bank tidak mau merugi. Ketika pemerintah, BI/OJK mengeluarkan kebijakan itu yang harus diingat bagaimanapun bank itu kan kegiatan bisnis, dia akan tetap melihat dari sisi keuntungannya apa,” jelasnya.
Di sisi yang lain, pada dasarnya dirinya setuju kartu tersebut digratiskan berikut beban bulanannya. Karena hal itu akan membuat gerakan non tunai semakin masif. Nah bagaimana agar nasabah dan bank mau terlibat dalam hal ini, maka harus dikasih insentif dan diyakinkan bahwa gerakan ini bisa membuat gerakan non tunai makin masif serta memberikan nilai positif bagi bank.
Terkait penurunan nilai tukar rupiah berimbas ke operasional bank, dirinya melihat tidak semua bank saat mengalami tekanan, hanya bank segmented. Sedangkan Bank dengan kategori besar tidak berdampak penurunan kurs rupiah. Namun, pada bank kecil mengalami tekanan liquiditas.
Apa upaya yang mesti dilakukan BI/OJK agar perbankan mau menggenjot target GPN? Menurutnya, harus ada hitungan yang jelas pada sisi eskpansi yang bisa didapatkan dari membuat kartu GPN semurah mungkin.
“Saya yakin bank mau terlibat malaupun awalnya keberatan karena bagaimanapun dia dibawah OJK atas kemauan BI,” pungkasnya.
Page 6: Nasabah Jadi Target Pajak
Artikel ini ditulis oleh:
Eka