Jakarta, Aktual.com – Izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), terkesan tergesa-gesa.

“Seperti beli tanah RSSW (RS Sumber Waras),” ujar eks Wakil Gubernur DKI, Prijanto, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (6/4).

Mantan Aster KSAD ini menambahkan, penjualan properti di atas lahan pulau buatan yang dipasarkan pengembang, juga melanggar aturan. “Karena belum ada izin pemanfaatan hasil reklamasi. Sehingga, harus dihentikan,” tegasnya.

Diketahui, tak sampai dua bulan sejak dilantik sebagai gubernur, tepatnya 23 Desember 2014, Ahok menerbitkan izin pelaksaan reklamasi Pulau G (Pluit City) untuk PT Muara Wisesa Samudra (MWS), anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL), melalui Kepgub No. 2238/2014.

Dan selama 2015, tercatat ada empat izin serupa yang diterbitkan bekas bupati Belitung Timur selama 17 bulan itu. Rinciannya, Kepgub No. 2268/2015 (Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo).

Lalu, Kepgub No. 2269/2015 (Pulau I untuk PT Jaladri Kartika Eka Paksi), Kepgub No. 2485/2015 (Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol), dan izin pelaksanaan reklamasi Pulau H kepada PT Intiland melalui anak perusahaannya, PT Taman Harapan Indah.

Tiap pengembang yang telah mengantongi izin pelaksanaan, diketahui juga mulai menjualkan properti. Misalnya, MWS membuka gerai penjualan Pluit City di Baywalk Mall.

Begitu pula dengan PT Agung Sedayu Grup (ASG). Melalui anak perusahannya, PT Kapuk Naga Indah (KNI), ASG telah memasarkan propertinya yang berada di Pulau C (River Walk Island) dan Pulau D (Golf Island).

Dan pada tahun ini, Intiland berencana memasarkan produk-produknya di atas Pulau H seluas 63 ha.

Di sisi lain, kasus pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI pada 2014 juga tengah menjadi sorotan. Pasalnya, menurut LHP BPK, transaksi itu mengindikasikan adanya kerugian negara senilai Rp191 miliar.

Kerugian muncul karena Pemprov DKI tidak membelinya sesuai prosedur yang diatur dalam UU No. 2/2012, Perpres No.71/2012 sebagaimana diubah melalui Perpres No. 40/2014, Perkep BPN No. 5/2012, dan Permendagri No. 72/2012.

Hal tersebut menjadi catatan BPK dalam audit investigasinya, dimana memuat ada enam penyimpangan. Perencanaan, penganggaran, pembentukan, pengadaan lahan, pembentukan harga, dan penyerahan hasil.

Artikel ini ditulis oleh: