Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, dalam hubungan industrial Pancasila, perusahaan itu mencerminkan usaha tolong-menolong; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Perselisihan antara buruh dan majikan lebih mengedepankan cara-cara musyawarah, ketimbang hubungan konfliktual. Pemogokan ditempatkan sebagai pilihan terakhir manakala hubungan industrial sudah sangat eksploitatif tanpa ada ruang bagi permusyawaratan, atau tatkala hasil musyawarah tak lagi diindahkan.
Hubungan industrial yang bersifat eksploitatif dan berjalan tanpa mekanisme dialogis itu terjadi pada masa kolonial. Dalam pergerakan memperjuangkan kemanusiaan yang adil dan beradab bagi kaum buruh yang tertindas, ada seorang pemimpin teras Sarekat Islam yang dikenal sebagai “Raja Pemogokan” (De Staking Koning). Orang itu bernama R.M.Soerjopranoto. Ia diberi julukan itu karena kepeloporannya dalam mengorganisir gerakan-gerakan pemogokan buruh di Tanah Air.
Lahir di Yogyakarata pada 11 Januari 1871, Soerjopranoto adalah kakak Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), alias putra sulung (KPH) Suryaningrat. Meski lahir dari keluarga bangsawan (Keraton Pakualaman), jejak perjuangan Soerjopranoto justru dikenal sebagai pembela wong cilik; kaum yang terindas. Setelah mengenyam bangku pendidikan di sekolah dasar ELS dan Kursus Pegawai Rendah (Klein Ambtenaren Cursus), reputasinya sebagai “pembuat onar” di dalam masyarakat Yogyakarta membuatnya “dibuang” oleh Asisten Residen ke Tuban sebagai pegawai pemerintah kolonial di Controleurs-Kantoor.
Namun, keberaniannya melawan penindasan membuatnya segera dikeluarkan dari pekerjaan tersebut setelah menempelang seorang pejabat berkulit putih. Pada tahun 1900, Soerjopranoto mulai mendirikan sebuah organisasi Mardi Kaskaya, semacam koperasi rakyat yang berusaha membebaskan wong cilik dari jeratan rentenir. Keberadaan organisasi ini membuat ruang gerak para rentenir semakin berkurang, dan sering mendapatkan cacian tatkala keluar-masuk kampung. Konflik terbuka sering terjadi, dan keberadaan Mardi Kaskaya dituding oleh pejabat kolonial sebagai biang keroknya.
Untuk meredamnya, pejabat kolonial “menyekolahkan” Soerjopranoto ke Middelbare Landbouw School (MLS, Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor, dengan surat tugas langsung ditanda tangani Gubernur Jenderal sebagai “izin istimewa”. Di Bogor, ia kebetulan tinggal di rumah orang Belanda, Van Hinllopen Laberton, seorang penganut ajaran teosofi yang membenci penjajahan dan perbedaan hak bangsa-bangsa. Soerjopranoto merasa menemukan sahabat, guru kawan dan orangtua sekaligus.
Setahun setelah tamat dari MLS, pada 1908 ia dipekerjakan sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo, Dieng, dan Batus dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau dan kemudian juga merangkap sebagai pemimpin sekolah pertanian. Suatu ketika, pada 1914, rasa keadilannya terusik mendapati seorang Asisten Wedana yang dipecat hanya karena menjadi anggota Sarekat Islam.
Sebagai protes atas tindakan yang mengekang hak berserikat dan berkumpul itu, Soerjopranoto menyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan melemparkannya bersama bundelan kunci di hadapan atasannya (Residen Belanda) sambil kontan meminta berhenti. Sejak itu, ia bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintah penjajah Belanda untuk selama-lamanya, dan memberikan seluruh tenaga dan pikirannya pada perjuangan melawan penjajahan dan menegakkan HAM.
Tidak puas bergerak dalam Budi Utomo karena kurang bersifat kerakyatan dan tidak revolusioner, ia minta diri keluar setelah usulnya untuk mendinamisir menjadi pergerakan rakyat ditolak. Selanjutnya, pada 1915, ia mengembangkan aktivitasnya sendiri secara langsung di kalangan rakyat jelata dengan mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (=kebaktian yang luhur).
Organisasi ini bergerak dalam pemberdayaan sosial-ekonomi, yang meliputi tabungan, koperasi pertukangan, pendidikan, kesehatan, dan perbantuan nasihat hukum, yang kesemuanya didasarkan atas semangat gotong royong. Semua aktivitas ini ditujukan untuk: 1) menggugah jiwa rakyat kecil akan kesadaran harga dirinya; 2) merupakan persiapan penggalangan gerakan rakyat jelata, gerakan buruh dan tani.
Dalam pada itu, ia juga aktif dalam organisasi Sarekat Islam. Begitu aktif, tangkas dan beraninya, sehingga ia dengan cepat menduduki tempat di pucuk pimpinan organisasi tersebut sebagai orang kedua setelah Tjokroaminoto. Dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919, Soerjopranoto mengemukakan bahwa perjuangan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata tetapi bisa dengan aksi moral, lewat protes-protes, dan jika perlu dengan “pemogokan”, yang kesemua itu harus dilakukan secara serentak.
Teorinya itu kemudian ia praktekkan sendiri dengan memimpin pemogokan umum di kalangan kaum pekerja pabrik-pabrik gula yang pertama di Tanah Air. Pada tahun 1917, Soerjopranoto bergabung dalam Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia, Personeel FabrieksBond (PFB) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lewat sarekat buruh ini, pemogokan pertama kali dilakukan pada 20 Agustus 1920, di pabrik gula Madu Kismo. Pemogokan ini begitu luas dan hebat sehingga oleh “DeExpress” ia disebut sebagai “De Staking Koning” (=Raja Pemogokan).
Selama menjadi pemimpin SI, Soerjopranoto berulang kali masuk penjara karena aktivitas dan tulisan-tulisannya yang membela hak orang-orang yang terhempas dan terputus. Namanya terpahat dalam sejarah Indonesia sebagai salah seorang pelopor perjuangan kemanusiaan yang adil dan beradab.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi).
Artikel ini ditulis oleh:
Editor: Andy Abdul Hamid