Jakarta, Aktual.com — Sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menolak RUU Tembakau dan terus mendorong gerakan antitembakau dinilai tumpang tindih dan salah kaprah. Seharusnya, Kemenkes focus mengurus masalah-masalah kesehatan masyarakat.

Hingga kini Menteri Kesehatan belum mencabut bernomor HK.04.02/Menkes/460/2014 tertanggal 11 Agustus 2014, yang berisi tentang penolakan RUU Pertembakauan. Padahal, saat ini rancangan beleid tersebut sedang dibahas di DPR.

Analis Ekonomi Politik Salamudin Daeng menilai, sikap Kemenkes itu dinilai melecehkan sektor pertanian. RUU Tembakau, tidak ada urusan dengan isu kesehatan karena RUU itu mengatur soal agrikultur, perlindungan tanaman, dan tidak berkaitan dengan urusan kesehatan.

“Jadi agak kacau juga sikap Kemenkes. Tumpang tindih, terkesan menterinya tidak paham. RUU Tembakau ini, kan, menyangkut perlindungan tanaman Indonesia, sub sistem pertanian,” ujar Daeng, di Jakarta, Rabu (16/12).

Daeng mengkritik, sikap petinggi Kemenkes yang ikut menolak kampanye antitembakau merupakan sikap yang berlebihan yang dilakukan pemerintah. “Saya khawatir, sikap Kemenkes yang selalu kampanye negatif tembakau karena sudah disusupi oleh kepentingan asing,” kritik Daeng.

Herannya, isu-isu kesehatan lain, seperti soal makanan sampah atau junk food yang terbukti sangat merusak kesehatan, Kemenkes tidak peduli. Bukan hanya itu, masalah buruknya sanitasi warga hingga kematian puluhan anak di Papua, tidak pernah menjadi isu serius bagi Kemenkes.

Daeng mengingatkan, ada yang lebih berbahaya ketimbang produk tembakau. Karena itu, Menteri Kesehatan patut dikritisi karena selama ini tidak ada kebijakan yang dirasakan oleh publik. Padahal Kemenkes juga mengelola anggaran yang bersumber dari pajak rakyat dengan jumlah yang sangat besar. Namun tidak ada program terobosan yang signifikan untuk kepentingan masyarakat luas.

“Menteri Kesehatan hanya makan gaji buta. Memang ada kantor Kemenkes dan Menterinya, tapi tidak terlihat kerja-kerjanya,” tegas Daeng.

Sementara, Pengamat Intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati yang akrab disapa Nuning, mengingatkan, bahwa dalam setiap pembahasan dengan tembakau, tidak bisa berdiri sendiri atau mengedepankan kepentingan lembaga sendiri karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

“Tatkala kita bicara mengenai industri rokok maka kita harus melihatnya secara holistik dan multi aspek. Dalam industri ada entitas yang terdiri dari buruh/pegawainya, sebagai suatu hal yang tak dapat kita abaikan,” kata Nuning.

Ia mengingatkan, Bila dilakukan penutupan atas industri rokok maka akan bertambah jumlah pengangguran eks buruh/pegawai Rokok sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan.

“Hal ini tentu dapat memicu kerawanan sosial, sangat mudah menjadi obyek proxy. Kemarahan massa mudah disulut sehingga mengganggu keamanan bahkan pertahanan negara,” ujar Nuning

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka