Memanusiakan Orang Miskin
Ekonom CORE Indonesia, Akhmad Akbar Susanto menilai pemerintah berhak bangga terkait penurunan angka kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Namun masyarakat Indonesia saat ini sudah cerdas membaca data pemerintah. Sebaiknya pemerintah atau masyarakat tidak terjebak pada angka-angka dan data Statistik. Sebab ada banyak sudut pendang dalam melihat data pemerintah tersebut.
“Jangan terjebak pada angka-angka dan data statistik. Kemiskinan itu bukan sekedar angka, tapi bagaimana me-manusiakan manusia,” tambahnya.
Menurutnya, patokan terkait angka kemiskin tidak mencerminkan situasi jangka panjang yang pas karena kriteria miskin dari BPS masih sangat longgar. Jumlah penduduk kategori rentan miskin dan hampir miskin masih sangat besar, sekitar 69 juta orang. Jumlah ini jauh lebih besar daripada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk tersebut sangat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan apabila terjadi tekanan ekonomi seperti lonjakan inflasi, terhambatnya bantuan pemerintah, dan lain-lain.
“Hanya dengan pengeluaran sekitar Rp400 ribu per bulan itu bisa dikatakan tidak miskin. Tingkat batasnya sangat rendah, saya yakin tidak ada masyarakat yang bisa belanja di bawah Rp500 ribu per bulan. Jadi garis kemisminan itu sangat rendah dan secara normatif kehidupan manusia sudah sangat tidak layak,” kata dia.
Berdasarkan ketetapan Gubernur DKI Jakarta, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sudah mencapai Rp3,6 juta. Artinya, bagi masyarakat yang masih single, nilai tersebut merupakan nilai terendah untuk bisa bertahan hidup di Jakarta. Namun apabila sudah berkeluarga, bahkan memiliki dua anak, dengan bertumpu pada satu orang, maka pendapatannya bisa dihitung menjadi Rp900 ribu per kapita. Meskipun jauh dari angka standar kemiskinan BPS, namun pendapatan tersebut tergolong pas-pasan dan cenderung kurang.
Selanjutnya, Tingkat Pengangguran Menurun?
Artikel ini ditulis oleh:
Eka