Kuala Lumpur, Aktual.com – Krisis politik di negara jiran Malaysia, belum menampakkan tanda akan mereda. Setelah seminggu dilantik menjadi Perdana Menteri (PM) ke-8, Tan Sri Muhyiddin Yasin sampai saat ini belum mampu membentuk kabinet baru, menggantikan kabinet Pakatan Harapan (PH) setelah dibubarkan Yang Dipertuan Agong, akibat mundurnya Tun Mahathir Mohamad dari jabatan PM ke-7 seminggu sebelumnya.
Setelah bersekongkol dengan koalisisi oposisi yakni Barisan Nasional (terdiri atas UMNO, MCA, MCI) dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS), dan kemudian membentuk koalisi baru dengan nama Pakatan Nasional (PN), nampaknya Muhyiddin masih tersandera akibat tarik-ulur kepentingan komponen koalisinya. Banyaknya diantara tokoh-tokoh Barisan Nasional dan PAS yang terindikasi terlibat skandal korupsi 1MDB bersama Najib Razak (PM ke-6), menjadikan Muhyiddin tak leluasa membentuk kabinet.
Kekuatan mayoritas kursi Parlemen yang diklaim oleh Muhyiddin dan koalisi Pakatan Nasional (PN) pun patut dipertanyakan. Pasalnya tak semua Anggota Parlemen dari Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) yang diketuai oleh Muhyiddin mendukung dirinya membentuk koalisi baru bersama Barisan Nasional (BN) dan PAS. Sebut saja Mahathir Mohamad, Mukhriz Mahathir, Syed Syaddiq tak setuju Muhyiddin membentuk koalisi baru. Mereka juga masih menginginkan agar PPBM kembali bersama koalisi Pakatan Harapan dan kembali menjadikan Mahathir Mohamad sebagai PM.
Sikap segelintir tokoh PPBM ini mendapat dukungan dari komponen partai yang masih tersisa dalam Pakatan Harapan (PH) yakni Partai Keadilan Rakyat (PKR), Partai Amanah, dan Partai Demokratik (DAP). Koalisi pemenang Pemilu ke-14 di Malaysia ini sebelumnya telah mengajukan nama Datuk Seri Anwar Ibrahim sebagai calon PM ke-8, yang kemudian dilanjutkan dengan mengganti calonnya dan menyodorkan nama Mahathir kepada Agong.
Agak menggelitik memang jika mengikuti perkembangan politik di Malaysia dalam 2 minggu terakhir ini. Bagaimana tidak! Seorang PM yang telah meletakkan jabatannya, kemudian diangkat menjadi PM sementara oleh Agong. Setelah itu dia kemudian menawarkan diri kembali menjadi PM kepada koalisi sebelumnya. Keharmonisan koalisi seolah-olah dengan sekejap dia hancurkan, kemudian dengan sekejap pula dia coba untuk pulihkan. Tetapi Nasi telah menjadi Bubur! Yang ada saat ini justru Bangsa Melayu yang menjunjung tinggi Peradaban dihadapkan dengan perpecahan dan pengkhianatan.
Edisi spesial ini redaksi aktual.com ingin mengulas bagaimana kegaduhan politik di Malaysia terjadi. Berikut rangkuman peristiwa yang berhasil kami himpun lewat kontributor kami dalam liputan khususnya di Kuala Lumpur:
1. Dimulai dari keserakahan Mahathir Mohamad yang “Haus Kuasa”
Siapa yang tidak kenal dengan nama besar Mahathir? Orang yang pernah menajadi PM ke-4 Malaysia sejak 1981 ini telah dianggap sebagai Bapak Bangsa oleh rakyat Malaysia. Sama seperti Presiden RI ke-2 Soeharto, banyak prestasi pembangunan yang telah dia lakukan selama kurang lebih 22 tahun menjabat. Sampai kemudian di tahun 2003, kemudian dia mengundurkan diri dan dilanjutkan Wakilnya saat itu Abdullah Ahmad Badawi.
Setelah hampir 15 tahun tak lagi memimpin pemerintahan, pada 2018 yang usianya saat itu sudah menginjak 93 tahun, dia memutuskan untuk kembali maju dalam Pemilu ke-14. Karena kecewa dengan muridnya yakni Najib Razak dan partai UMNO yang pernah dia pimpin karena telah menjadi sarang penyamun dalam skandal korupsi 1MDB, dia pun memilih turun gelanggang dengan mendirikan partai baru yakni PPBM dan berkoalisi dengan oposisi saat itu yakni PKR, DAP, dan Amanah.
Dengan kesamaan visi dan misi yakni menumbangkan Barisan Nasional (BN) dan memenjarakan Najib dan kroninya, serta membentuk Malaysia baru. Mahathir yang selama 20 tahun bermusuhan dengan Anwar Ibrahim akhirnya akur dan bersepakat membentuk koalisi Pakatan Harapan dan mencalonkan Mahathir sebagai Perdana Menteri.
Nama besar Mahathir ternyata masih menjual, kiblat politik di Malaysia pun berubah seketika setelah 9 Mei 2018, koalisi Pakatan Harapan memenangkan Pemilu dan menumbangkan Barisan Nasional yang sudah berkuasa selama 60 tahun. Pakatan Harapan yang sebelumnya adalah oposisi bertukar peran dengan Barisan Nasional.
Setelah berhasil memenangkan Pemilu dan berhasil menyeret Najib dalam pengungkapan kasus hukum, misi selanjutnya adalah memperbaiki kondisi negara di bawah Pakatan Harapan dengan perjanjian bahwa Mahathir akan menyerahkan jabatan PM kepada Anwar. Memang tidak disebutkan kapan waktu Mahathir akan menyerahkan, tetapi dalam pernyataan Mahathir lewat media yang berulang-ulang kali dia utarakan, bahwa akan diserahkan dalam waktu dua tahun setelah dia berhasil memperbaiki Malaysia.
Kehebatan tangan dingin Mahathir pada masa lalu, ternyata tak semudah untuk diterapkan pada masa sekarang. Rakyat pun mulai gerah menanti janji-janji politik Pakatan Harapan yang belum diwujudkan. Beberapa kali dalam pemilihan sela koalisi PH berhasil dikalahkan oleh koalisi BN yang sudah mulai akur dengan PAS.
Di tengah ketidakmampuan Mahathir dalam memperbaiki kondisi negara, muncul adanya desakan untuk Mahathir segera menyerahkan jabatannya kepada Anwar. Banyak yang meragukan Mahathir mau menyerahkannya meskipun ucapannya menyatakan akan menyerahkan, sehingga menyebabkan kader partai dari komponen PH mendesak untuk Mahathir menentukan tanggalnya.
Menjelang dua tahun kepemimpinan Mahathir, pada 21 Februari 2020 tepatnya Jumat malam, majlis pimpinan PH menggelar musyawarah yang salah satu pembahasannya adalah tanggal penyerahan kekuasaan. Rapat yang dimulai sejak lepas Maghrib sampai tengah malam pun berlangsung tegang dan panas. Muhyiddin selaku Presiden PPBM tak rela jika Mahathir dipaksa menetapkan tanggal, bahkan salah seorang petinggi PPBM mengancam akan keluar dari PH, jika tetap memaksa Mahathir.
Usai musyawarah pimpinan, dilanjutkan dengan konferensi pers yang dihadiri oleh seluruh pimpinan komponen partai koalisi. Dalam kesempatan tersebut, Mahathir menyampaikan bahwa tidak ada penetapan tanggal, dan bahkan secara tegas dia mengatakan meletakan jabatan PM itu terserah dirinya kapan waktunya. Mahathir pun menjadi seperti orang yang menelan ludah sendiri, karena ketidak konsistenan dan serakah serta haus kekuasaannya. Keserakahan Mahathir ini kemudian menjadi malapetaka, yang menjadi awal kegaduhan politik negeri jiran.
2. Pengkhianatan Azmin Ali dan Kartelnya
Aroma akan adanya pengkhianatan di dalam internal PKR sebenarnya sudah lama tercium bau busuknya. Dialah Azmin Ali, Wakil Presiden PKR yang sangat berambisi untuk menjadi PM menggantikan Mahathir. Seperti pepatah “kacang lupa akan kulitnya”, Azmin yang dulunya adalah loyal terhadap Anwar memilih jalan untuk membuat gerbong sendiri di dalam PKR.
Ibarat matahari kembar di dalam kepemimpinan Partai, Azmin Ali yang menjabat Menteri urusan Ekonomi di dalam kabinet Mahathir kerap kali menunjukan sikap tak sejalan dengan Anwar. Mulai dari sikap tak setuju Anwar jadi pengganti Mahathir sebagai PM, tak menghadiri rapat pimpinan PKR, sampai akhirnya dia dan komplotannya dari PKR menjadi dalang “Pertemuan Sheraton”. Azmin bersama kartelnya yakni Zuraida Kamaruddin, Saifuddin Abdullah, Baru Bian, Kamaruddin Jafar, Mansor Othman, Rashid Hasnon, Santhara Kumar, Ali Biju, Willie Mongin, dan Jonathan Yasin akhirnya pun dipecat dari PKR.
Pertemuan yang dilaksanakan pada Minggu, 23 Februari 2020 (tepat 2 hari setelah panasnya rapat majlis pimpinan PH) antara pihak oposisi yakni petinggi dari BN, PAS, dengan petinggi dari PPBM ini bersepakat akan membentuk koalisi baru bernama Pakatan Nasional. Dengan misi tetap mempertahankan Mahathir sebagai PM, membentuk kabinet baru dengan nama Pakatan Nasional dan meninggalkan Pakatan Harapan yang masih menyisakan PKR, DAP, dan Amanah.
Disinyalir pertemuan para pengkhianat tersebut ada campur tangan dari Mahathir, sehingga keesokan harinya Senin, 24 Februari 2020 pagi para Petinggi PH menemui Mahathir di kediamannya untuk meminta penjelasan. Karena mungkin merasa malu, ambisi ingin tetap berkuasa tetapi tak mau berkomplotan dengan para penyamun dari UMNO, akhirnya pada Senin siang Mahathir meletakan jabatannya dari Perdana Menteri dan dari Pengerusi PPBM.
3. Pengkhianatan PPBM
Tak rela kursi PM jatuh kepada Anwar Ibrahim setelah Mahathir mengundurkan diri, PPBM dipimpin Muhyiddin Yasin menyatakan bahwa partainya tak lagi dalam koalisi Pakatan Harapan. Kekuatan PH sebagai mayoritas di Parlemen pun hilang seketika. Kehilangan 26 kursi dari PPBM dan 11 kursi dari komplotan Azmin, membuat PH tak lagi menjadi sebagai koalisi dominan di Parlemen.
Agong yang menerima permintaan mundur Mahathir, tak bisa serta merta mengangkat PM baru dari anggota parlemen PH. Dalam aturan perlembagaan memang hak prerogatif Agong untuk menunjuk PM pengganti dengan syarat bahwa pengganti tersebut haruslah dari koalisi memiliki kursi mayoritas. Ataupun bisa juga Agong membubarkan parlemen dan memerintahkan untuk dilaksanakan Pemilu lebih cepat.
Tak lama beberapa jam Mahathir mundur dari jabatan PM, Agong mengangkat Mahathir sebagai PM sementara sampai diangkatnya PM definitif. Dalam sepekan berkali-kali Agong mengundang parlemen ke Istana Negara, baik itu dari kubu Pakatan Nasional maupun dari kubu Pakatan Harapan, hingga akhirnya mengerucutlah dua nama sebagai calon PM yakni Muhyiddin Yasin dan Anwar Ibrahim.
4. “Ide Gila” Mahathir ingin Membentuk Kabinet Perpaduan
Sebelum mengerucut terhadap dua nama calon PM, sebuah ide tak lazim mencuat dari mulut PM Interim Mahathir Mohamad yakni kabinet perpaduan. Alasan Mahathir karena dirinya merasa didukung oleh kedua kubu baik PN maupun PH, sehingga dirinya tak ingin condong kepada salah satu pihak. Ide gila Mahathir ini tak berjalan mulus. BN dan PAS yang semula berada mendukung Mahathir tetap menjadi PM, kemudian berubah haluan. Mereka lebih memilih bubarkan parlemen daripada harus berkongsi kabinet dengan DAP.
Karena ide gila ini mendapat respon negatif, Mahathir yang telah menyatakan mundur, setelah bertemu dengan Presiden PPBM Muhyiddin Yasin menyatakan kembali menjabat sebagai Pengerusi PPBM. Berharap dirinya tetap dicalonkan sebagai PM dan PPBM kembali kepada PH, Muhyiddin yang semula adalah loyal terhadap Mahathir berubah haluan. Diapun bersama mitra koalisinya yang baru yakni PN mengklaim memiliki kursi mayoritas di parlemen, dan PN akhirnya menyodorkan nama Muhyiddin sebagai calon PM kepada Agong.
Tak lama setelah PN mencalonkan Muhyiddin sebagai PM, Mahathir yang masih berambisi mencoba merayu PH yang sebenarnya sudah mencalonkan Anwar Ibrahim sebagai PM. Mahathir yang mengklaim memiliki dukungan dari Partai Warisan dan Gabungan Partai Serawak, menawarkan dirinya untuk dicalonkan sebagai PM dari PH. Dalam musyawarah PH terakhir, akhirnya diputuskanlah bahwa PH mencalonkan Mahathir sebagai PM. Surat keputusan tersebut pun akhirnya diserahkan oleh Anwar Ibrahim dan PH kepada Agong yang sebelumnya terlebih dahulu menerima kedatangan Muhyiddin dan koalisi PN.
Setelah menerima kedatangan dan surat dari kedua kubu, Sabtu 29 Februari 2020, Agong akhirnya memutuskan melantik Muhyiddin sebagai PM ke-8 pada hari esoknya 1 Maret 2020.
5. Koalisi PN Terancam Cerai
Inilah tantangan yang tengah dihadapi Muhyiddin setelah menjabat sebagai PM ke-8. Bagaimana tidak! Setelah seminggu dilantik, ternyata Muhyiddin belum mampu menyusun kabinet. Berhati-hati dalam mengambil keputusan politik harus dia lakukan agar koalisi PN ini tak seumur jagung. Belum berhasil menunjukan kekuatan mayoritas kursi parlemen, membuat dirinya meminta Ketua Parlemen untuk menunda sidang yang semulanya diagendakan Senin, 9 Maret 2020 ditunda hingga 18 Mei 2020.
6. Kesabaran Anwar Ibrahim Terus Diuji
Pernah difitnah dalam kasus sodomi, difitnah menyembunyikan kekayaan, difitnah tidak pro dengan Islam, difitnah karena liberal, difitnah tak mendukung melayu terus dialami Datuk Seri Anwar Ibrahim. Perjuangan Bapak Reformasi Malaysia ini sungguh luar biasa, bahkan sampai penjara pun pernah dia rasakan. Dua kali dijanjikan akan menjadi PM pengganti Mahathir, cukup dia rasakan, sehingga menjadikannya semakin yakin bahwa jabatan itu adalah amanah yang dititipkan Allah, yang kemudian hari akan dipertanggungjawabkan.
Pengorbanannya rela sudah dicalonkan sebagai PM dari PH dan dia berikan kepada Mahathir, seharusnya menjadikan kita mengambil pelajaran, bahwa jabatan bukanlah segalanya. Anwar Ibrahim hanya menginginkan rakyat lebih baik, dan dia sangat menentang kezaliman, kejahatan korupsi, dan penindasan terhadap rakyat apapun latar belakang bangsanya.
Diapun yakin, jika jabatan itu ditakdirkan untuknya, maka seupaya apapun manusia menghalanginya pasti tidak akan bisa menandingi kekuasaan-Nya. Begitupun sebaliknya, sekeras apapun jabatan itu dikejar, jika memang takdirnya bukan memegang jabatan tersebut, maka sekeras apapun akanlah sia-sia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan