Jakarta, Aktual.com — Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat menyelesaikannya ke pengadilan.
Apabila, kita sudah bercerai lalu bagaimana dengan anak dari mulai pendidikannya, nafkah, dan siapa yang sebenarnya berhak atas hak asuh anak tersebut?.
Ustadzah Nur Hasanah menjelaskan kepada Aktual.com, di Jakarta, Rabu (02/03), terkait dengan perceraian, kita coba membahasnya satu persatu. Mulai dari menafkahi. Para Ulama sepakat (ijmak) atas wajibnya menafkahi anak. Allah SWT berfirman,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.”(At Talaq : 6)
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya, “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut (ma’ruf).”(Al Baqarah : 33).
Dalam sebuah Hadis sahih riwayat Bukahri dan Muslim Rasulullah SAW berkata pada Hindun binti ‘Utbah,
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
Artinya, “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.”
Untuk diketahui, bahwa suami Hindun binti ‘Utbah adalah seorang yang pelit. Ketika hal itu dilaporkan pada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW membolehkan mengambil harta suaminya secara diam-diam secukupnya untuk kebutuhan istri dan anak.
Rasulullah SAW bersabda dalam Hadis riwayat Abu Daud,
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت
Artinya, “Hukumnya berdosa orang yang menyia-nyiakan orang-orang yang wajib dinafkahi.”
Ibnu al-Mundzir berkata dalam Al-Mughni,
وأجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم، على أن على المرء نفقة أولاده الأطفال الذين لا مال لهم؛ ولأن ولد الإنسان بعضُه،ُ وهو بعضً والدهِ، فكما يجب عليه أن يُنفق على نفسه وأهله كذلك على بعضه وأصلِه
Kesimpulannya, “Ulama sepakat atas wajibnya menafkahi anak yang tidak memiliki harta.”
Namun berbeda lagi apa bila sang anak termasuk kaya karena para ulama sepakat bahwa apabila si anak mempunyai harta walaupun dia masih kecil, maka tidak wajib bagi si bapak untuk menafkahinya.
Akan tetapi, Ulama berselisih pendapat tentang wajibnya ayah memberi nafkah pada anak yang sudah baligh dan mampu berusaha tapi miskin. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat tidak wajib memberi nafkah.
Lalu adakah batas wajib seorang ayah dalam memberikan nafkah kepada anak-anaknya?.
Ustadzah Hasanah menuturkan, untuk membiayai anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa. Dewasa menurut hukum Islam adalah sudah baligh (kira-kira 14 tahun, red). Sedang dewasa menurut ukuran negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun.
Bila anaknya yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar Ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri. Namun, ada sebagian Ulama yang berpendapat sebaliknya yakni kewajiban menafkahi tetap pada bapak. Namun, apabila anak yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka menurut Ibnu Taimiyah kewajiban membiayai ada pada bapak. Bersambung…
Artikel ini ditulis oleh: