Buku “Bocah Kebon Dari Deli” yang merupakan biografi Prof Dr Supandi, SH, M.Hum, Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Buku “Bocah Kebon Dari Deli” yang merupakan biografi Prof Dr Supandi, SH, M.Hum, Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Jakarta, Aktual.com – Ini lanjutan kisah seru dalam buku “Bocah Kebon Dari Deli”. Buku biografi Prof Dr Supandi, SH, M.Hum, Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung Republik Indonesia. Bukunya sangat enak dibaca, penuh dengan kisah sejarah bermutu tinggi. Dimulai dari kisah perang Diponegoro, perang Jawa tahun 1825-1830. Perang yang meluluhlantakkan Hindia Belanda. Hingga membuat kebangkrutan di Belanda dan sampai membuat Belgia merdeka dari Belanda. Dampak perang yang sangat besar di tanah Jawa. Salah seorang leluhur Supandi, Raden Matkasan, seorang ‘tumenggung’ di Keraton Solo itu ikut dalam pasukan Pangeran Diponegoro.

Kemudian Raden Matkasan memiliki anak bernama Ki Tirtoleksono. Dari Ki Tirtoleksono inilah lahir kakek kandung Supandi yang bernama Ki Ibrahim. Ki Tirto ini Lurah kedua di Desa Tlutup, Juwana, Pati, Jawa Tengah. Di sana tempat persembunyian terakhir sisa pasukan Diponegoro, setelah Sang Pengaren ditangkap Belanda dan diasingkan ke Makasar, Sulawesi. Perjuangan pasukan Diponegoro terus berlanjut. Di Desa Tlutup itulah KI Tirto berdiam diri dan melahirkan beberapa orang anak. Salah satunya Ki Ibrahim tadi. Darah pejuang tetap melekat pada anak keturunan Raden Matkasan. Ki Ibrahim melawan seorang “meneer” Belanda yang pongah. Melemparkannya ke mesin penggilingan tebu di Pati. Lalu lari ke Deli, dari Semarang. Sampai di Deli, bergabung dengan para ‘koeli’ pekerja perkebunan Hindia Belanda, yang masa itu marak menanam tembakau. Makanya tembakau Deli terkenal hingga Bremen, Jerman.

Di Deli, Ki Ibrahim mengubah Namanya menjadi “Kiyai Sujak”. Karena dirinya bukan golongan ‘koeli’. Melainkan mengajarkan mengaji para ‘koeli-koeli’ di barak perkebunan. Disitulah orang-orang memanggilnya sebagai ‘Ki Sujak’. Kemudian beliau melahirkan seorang putera hasil pernikahannya dengan Mbok Krentil. Putera itu salah satunya bernama Ngadinum.

Karena darah pejuang, Ngadimun pun beranjak remaja. Usia mulai 12 tahun, Ngadimun sudah bergabung dengan tentara Angkatan Laut di Belawan, Sumatera Utara. Ikut berperang melawan agresi Hindia Belanda. Tapi kemudian Ngadimun menderita sakit paru-paru. Persis seperti sakit yang diderita Jenderal Besar Soedirman di Jawa. Alhasil Ngadimun Kembali ke Saentis, menjumpai ibunya dan adik-adiknya.

Ibunya sempat melarang Ngadimun kemballi ke Angkatan laut. “Nanti kamu matinya tidak ketahuan,” kata Ibunya. Alhasil dia pun memilih berjuang di daerah Sumatera Timur. Dia bergabung dengan Mayor Bejo, bergabung dengan Laskar Rakyat. Bergerilya di hutan melawan kolonialisme tentara Belanda. Komandonya ditangan Kolonel Mustafa Kamal. Komanda tertingginya bernama Ahmad Tahir. Dia alumni tentara Jepang ‘Hei Ho’. Mereka mempertahankan daerah Medan Tembung dari serbuan Belanda.

Ngadimun berada di pos Pancur Batu, daerah Bekala, Sumatera Utara. Disitulah dia bertemu Ngadinem, yang kemudian diperistrinya. Di tengah suasana perang itulah mereka menikah. Ngadinem, puteri yang ikut dalam barisan Palang Merah Indonesia (PMI). Mirip kisah Pak Harto dan Ibu Tien, yang berjodoh masa perang kemerdekaan.

Ngadimun dan Ngadinem inilah orangtua dari Supandi, yang kini menjabat sebagai Ketua Muda TUN Mahkamah Agung. Supandi lahir dari darah para pejuang kemerdekaan.

Supandi saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Supandi saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Selepas masa perang usai, Ngadimun dan Ngadinem kemudian menetap di daerah bekas berkebunan Hindia Belanda di Saentis, Sumatera Utara. Karena perkebunan Belanda kemudian dinasionalisasi dan diambil oleh Republik Indonesia. Mereka menetap di sana. Supandi pun lahir dan dibesarkan didaerah perkebunan itu.

Sore-sore hari, Supandi menceritakan, dirinya sering dikisahkan ayahnya, Ngadimun bahwa kakeknya, Ki Ibrahim tadi, meninggalkan silsilah keluarga. Karena KI Ibrahim berasal dari Desa Tlutup, Pati, Jawa Tengah. Ngadimun menceritakan bahwa asal muasal kakeknya itu di sana. Supandi pun terngiang-ngiang terus dengan pesan dari ayahnya itu.

Tapi masa itu Supandi masih kecil. Belum bersekolah. Dia masih belum paham tentang kisah asal usul kakeknya itu. Kehidupannya asri di perkebunan. Suasananya sangat tepo seliro. Buku “Bocah Kebon Dari Deli” ini menceritakan apik suasana nikmatnya tinggal di daerah perkebunan, yang sangat jauh dari hingar bingar seperti di perkotaan. Karena kisah Supandi berasal dari sana.

Suatu sore, Supandi sering dielus-elus kepalanya oleh neneknya, Mbah Supirah. Beliau korban “culik paksa” anak buah Tjong A Fie, yang mencari tenaga kerja di perkebunan Deli. Supirah aslinya berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Usia kisaran 14 tahun, Supirah diculik lalu di bawa ke Deli. Supandi pun sempat menetap Bersama neneknya. Masa itulah kepala Supandi di elus-elus pelan, “Kalau besar menjadi ‘Mister’ (Hakim) yo, Nang,” katanya. Itu teringat dalam benak Supandi.

Kisah silsilah Ki Ibrahim dan elusan Mbah Supirah ini yang terus terpatri dalam ingatan Supandi. Ditambah didikan dari kakek dan neneknya yang lain, membuat Supandi tumbuh dari “Bocah Kebon” yang tangguh. Waktu berjalan, dengan susah payah Supandi berhasil masuk sekolah, hingga tamat STM di Medan. Lalu melanjutkan ke Akademi Penerbangan, setelah gagal masuk AKABRI. Di Akademi Penerbangan, dia dipondokkan di Curug, Tangerang. Disitulah kesempatannya mengunjungi Kembali Desa Tlutup, Juwana, Pati, Jawa Tengah. Tapi belum sempat bertemu dengan sanak keturunan kakeknya, Ki Ibrahim.

Begitu Kembali ke Medan, dia menceritakan perjalanannya itu kepada ayahnya, Ngadimun. Alhasil Ngadimun pun semangat untuk berangkat langsung ke sana. Tahun 1981, Ngadimun dan Ngadinem pun mengunjungi Desa Tlutup, Pati. Dari Medan mereka terbang ke Jakarta. Lalu melanjutkan naik bus sampai ke Semarang dan berlanjut ke Juwana, Pati, Jawa Tengah.

Perjuangan membuahkan hasil. Ngadinum dan Ngadinem berhasil menelususi jejak kampung asal ayahnya itu, Ki Ibrahim. Ternyata sanak keturunan Ki Tirto banyak menetap di sana. Dari situlah “obor” persaudaraan keluarga Supandi menyambung Kembali. Dari Dei ke Pati.

Kisah ini sangat haru biru. Karena epos tentang “obor persaudaraan” yang tersambung Kembali ini merupakan cerita langka. Masa penjajahan Belanda dulu, banyak orang Jawa dikirim ke Sumatera, Cape Town (Afrika Selatan) hingga Suriname, Amerika Latin. Tapi obor persaudaraan telah terputus antara kerabat di Jawa dan tanah perantauan. Buku “Bocah Kebon Dari Deli” ini merangkai kisah apik dan menarik bagaimana perjalanan Supandi berhasil menyambung obor persaudaraan keluarganya Kembali.

Buku 'Bocah Kebon dari Deli' yang merupakan biografi dari seorang Prof. Dr. Supandi, SH., M.Hum kini tersedia di toko buku Gramedia
‘Bocah Kebon dari Deli’ yang merupakan biografi dari seorang Prof. Dr. Supandi, SH., M.Hum kini tersedia di toko buku Gramedia

Buku ini sangat menarik untuk dibaca, bagi siapa saja. Karena di dalamnya termuat kisah berlandaskan catatan sejarah, dan penuh dengan pesan kemanusiaan yang sangat layak jadi panduan. Ditulis dengan gaya bahasa yang renyah, hingga membacanya bak kisah novel. Penuh intrik dan trik menarik, hingga Supandi bisa menapaki kehidupan sukses sebagai seorang Hakim Agung.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: A. Hilmi