Jakarta, Aktual.com — Berbicara batik tentu bukan hal asing bagi masyarakat Indonesia. Kain khas Indonesia yang digambar dengan canting dan lilin itu semula hanya dikenakan oleh kalangan keraton.

Namun kini, warisan budaya yang telah diakui UNESCO itu bertransformasi menjadi busana khas dalam acara-acara resmi, bahkan dipakai berbagai kalangan dalam kehidupan sehari-hari.

Keindahan corak dan nilai seni tinggi dari sehelai kain batik, rupanya telah membuat Fusami Ito, seorang perempuan asal Jepang, menemukan jalan hidupnya.

“Waktu SMA guru saya pulang dari Indonesia kemudian membawa kain batik dan ditunjukkan pada kami semua muridnya. Dari situlah saya mulai tertarik dengan batik,” ujar perempuan yang lahir pada 18 Maret 1950 tersebut.

Selepas SMA- Ito, demikian ia karib disapa- sempat mengenyam pendidikan seni rupa di Universitas Seni dan Desain Joshibi. Merasa tidak cocok dengan studi yang dijalaninya, Ito pun berangkat ke Solo untuk meluluskan niatnya belajar tentang batik.

“Di Laweyan, Solo, saya belajar membatik di rumah Pak Martodiwarno yang masih keluarga pembuat batik. Saya ikut tinggal di rumahnya dan beliau pun banyak mengajarkan saya cara membatik, termasuk bagaimana membuat batik sogan,” kata dia.

Diakuinya, kedatangannya kala itu cukup mengejutkan orang-orang Solo karena dirinya tiba ketika sedang delapan bulan mengandung dan membawa serta anak laki-lakinya yang berusia lima tahun.

Kondisi tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk mempelajari kain batik yang menurutnya memancarkan energi tersendiri itu.

Rangkaian pola-pola rumit berupa bunga, tumbuhan, atau hewan yang digambar dengan pengaturan artistik yang unik dalam sehelai kain batik, bagi Ito merupakan gambaran dunia yang diekspresikan dengan motif warna-warni dan kreativitas tinggi.

Kesukannya pada batik itulah yang mendorong Ito terus berkarya dan baru-baru ini memperkenalkan jenis batik “renaissance” yang memadukan desain tradisional Indonesia dengan kualitas tinggi standar internasional.

“Ini sebuah terobosan baru, ‘renaissance’ sendiri berarti ‘kelahiran kembali’. Jadi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional Indonesia, saya mendesain batik yang disesuaikan dengan selera pasar internasional, dalam hal ini Jepang,” ujar Ito dalam prapameran batik rancangannya di Kediaman Duta Besar Jepang, Jakarta, Minggu (11/10) malam.

Selain untuk memperkenalkan batik Indonesia ke pasar dunia, wanita yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Seniman Lintas Budaya (CCAA) itu mengatakan proyek batik “renaissance” dapat membantu meningkatkan taraf hidup perajin batik, khususnya yang masih menggunakan teknik klasik seperti batik tulis dan batik cap.

Ito mengaku khawatir karena saat ini batik jenis “printing” atau cetak lebih merajai pasaran daripada jenis batik klasik yang sebenarnya memiliki nilai seni dan nilai jual lebih tinggi.

“Kebanyakan yang masuk ke Jepang itu batik ‘printing’ yang harganya murah. Saya ingin memperkenalkan ke masyarakat Jepang bahwa batik itu bermacam-macam jenisnya, saya mau mempromosikan batik bernilai seni tinggi yang pembuatannya lebih sulit dan harganya tidak murah sebab kita harus menghargai karya para perajin batik tulis yang mulai terpinggirkan,” demikian tuturnya.

Didominasi dengan motif bunga dan warna-warna lembut seperti merah muda, kuning, abu-abu, dan biru muda, Ito mengaku batiknya telah disesuaikan dengan selera orang-orang Jepang, di antaranya kain batik yang khusus untuk dijadikan kimono.

Ia pun menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dalam pembuatan batiknya.

“Saya merancang batik yang dikerjakan oleh para perajin di tiga tempat yaitu di Solo, Madura, dan Pekalongan. Tapi khusus untuk proses pencelupan dilakukan di Solo karena saya harus melihat langsung dan mengontrol teknik serta kualitas bahan yang digunakan untuk mencelup batik,” tutur wanita yang sempat mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.

Karena menggunakan bahan kain asli dari Jepang dan pembuatan yang bisa memakan waktu hingga 1,5 tahun, harga yang dipasang untuk kain batik rancangan Ito pun tergolong mahal.

Untuk kain batik dua sisi sepanjang empat meter dijual dengan harga Rp10 juta-Rp25 juta. Sedangkan batik untuk kimono dengan lebar 30 sentimeter dan panjang 12 meter, dijual dengan kisaran harga Rp20 juta-Rp60 juta tergantung pada jenis bahan dan tingkat kesulitan dalam membuat.

Kolaborasi Didukung oleh Direktur CCAA Reiko Barack yang juga merupakan teman baiknya semasa sekolah, serta salah satu pelaku usaha Tanah Air, Rachmat Gobel, Ito terus berupaya mengolaborasikan batik sebagai warisan budaya Indonesia dengan selera pasar Jepang.

Demi memasyarakatkan batik di Jepang, Ito dan Reiko juga menggandeng para pesumo untuk ikut mempromosikan batik rancangannya.

“Pesumo di Jepang kan seperti selebriti, banyak penggemarnya. Jadi kalau mereka pakai ‘yukata’ batik, orang-orang Jepang akan memerhatikan dan mudah-mudahan akan semakin tertarik menggunakan batik,” ujar Reiko.

Salah satu pesumo bernama Yokozuna Hakuho, bahkan sangat menyukai batik hingga memesan lagi kepada Ito dan Reiko.

“Julukan ‘hakuho’ itu artinya garuda, jadi waktu itu kami membuatkan dia sebuah yukata batik yang ada gambar garudanya di bagian punggung. Setelah itu dia minta dibuatkan lagi yang bergambar serigala, dan ia pun sering memakainya di acara-acara publik,” tutur Reiko.

Tidak hanya itu, CCAA sendiri akan menyelenggarakan lokakarya pembuatan batik dengan memperkenalkan konsep yang ramah lingkungan kepada para pembatik di Indonesia.

Menurut Ito, pengelolaan limbah dan pewarnaan alami harus benar-benar diperhatikan, termasuk regenerasi tumbuhan penghasil warna untuk batik.

“Kami sudah menemukan bahan yang lebih aman untuk digunakan dalam proses pencelupan batik, sehingga limbahnya lebih ramah lingkungan. Kelebihan lainnya yakni kainnya tidak luntur,” kata Ito.

Penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan juga dinilainya akan mempermudah masuknya produk-produk batik Indonesia ke pasar internasional.

“Kalau mau masuk ke pasar-pasar Jepang mereka akan sangat memerhatikan, ini bahannya apa, tekniknya bagaimana. Kalau kita menggunakan bahan-bahan yang merusak lingkungan nanti akan susah memasarkannya,” tutur perempuan 65 tahun itu.

Apresiasi Ketekunan Fusami Ito menyelami dunia batik menggugah apresiasi banyak pihak, di antaranya Dewan Pengurus Yayasan Batik Indonesia, Sri Rahayu Purnomo.

“Karya-karyanya sangat mengagumkan. Apalagi dibuat oleh seorang perempuan asing,” kata Sri sambil tersenyum.

Menurut dia, rancangan batik ‘renaissance’ karya Ito memiliki kelebihan dari segi bahan dan corak.

“Bahannya langsung dari Tokyo, sedangkan desainnya lebih condong ke jenis batik modern yang didominasi motif bunga. Dari bahan saja (batik) kita sudah kalah,” ujarnya.

Sementara itu, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Tanizaki Yasuaki berharap proyek batik “renaissance” yang diinisiasi Fusami Ito dapat menciptakan pasar bagi batik jenis baru tersebut.

“Untuk melestarikan batik pastinya diperlukan sebuah pasar, orang-orang yang membeli. Dengan adanya desain dari Ibu Ito ini diharapkan kita bisa membantu meneruskan usaha para perajin batik tradisional Indonesia yang kian terhimpit,” ujar Yasuaki.

Untuk menarik minat pasar, tak kurang dari 250 koleksi batik “renaissance” karya Fusami Ito akan dipamerkan untuk umum pada 14 Oktober mendatang di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta.

Artikel ini ditulis oleh: