Jakarta, Aktual.com – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan, ada lima hal utama yang dinyatakan di dalam putusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda pada Selasa, 12 Juli 2016 lalu.
“Pertama, tidak ada dasar hukum yang kuat bagi Cina untuk mengklaim hak historis atas sumber daya laut yang berada dalam sembilan garis putus,” ucap Wasekjen KNTI, Niko Amrullah melalui pesan singkatnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (14/7).
Kedua, putusan tersebut menegaskan bahwa status perairan yang diklaim oleh Cina sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) miliknya ialah hak berdaulat Flipina.
“Ketiga, Cina telah melanggar hak berdaulat Filipina dengan melakukan berbagai pelanggaran hukum UNCLOS,” tambah dia.
Padahal, lanjut Niko, Cina sendiri sudah meratifikasi UNCLOS 1982 sejak 7 Juni 1992, yang artinya mestik tunduk pada ketentuan UNCLOS 1982.
“Keempat, Adanya ancaman terhadap lingkungan hidup dengan pembangunan yang tidak memenuhi kaidah hukum lingkungan internasional,” sambung Niko.
Hal itu disebabkan adanya penangkapan ikan secara ilegal serta pembuatan pulau reklamasi secara sepihak.
Kelima, lanjut Niko, pengabaian penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Cina tidak berlaku. Karena, hal itu tidak berdasarkan hukum serta, Cina terus melanjutkan kegiatan pembangunan di wilayah tersebut.
“Maka China sesungguhnya melanggar kewajiban negara dalam setiap proses penyelesaian sengketa,” tandas Niko.
Sekedar informasi, persengkataan dua negara tersebut bermula pada tahun 2013, dimana Filipina mengajukan keberatas atas klaim aktivitas Cina di Laut Cina Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda.
Filipina menuding, bahwa Cina telah mencampuri wilayahnya dengan mereklamask sebuah pulau serta melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Argumen klaim Cina yang berdasarkan Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line) pun dianggap bertentangan dengan wilayah kedaulatan Filipina serta hukum laut internasional. (Agung Rizki)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka