Jaksa Agung HM Prasetyo (tengah) menyimak pertanyaan anggota Komisi III saat rapat kerja di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/6). Rapat kerja tersebut diantaranya membahas evaluasi kinerja Kejaksaan semester I tahun 2016 dan rencana eksekusi pidana mati tahap III. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pd/16

Jakarta, Aktual.com – Pada 2016 ini terungkap setidaknya dua kasus suap yang disinyalir melibatkan orang-orang Kejaksaan. Kasus suap pengamanan perkara korupsi PT Brantas Abipraya (Persero) contohnya, yang diduga bakal menyeret Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang.

Fakta ini pun membuat banyak pihak angkat bicara, pun termasuk Komisi Kejaksaan (Komjak). Lembaga yang bernaung di bawah ‘ketiak’ Joko Widodo ini menilai, adanya sistem pengawasan internal di Kejaksaan yang tidak berjalan.

“Harus dilihat dari kasus per kasus. Karena punya karakter yang sangat berbeda, Kejati DKI perjalanannya panjang, sementara yang Bandung (kasus Jaksa Kejati Jawa Barat) masih proses. Yang sama bahwa ada satu sistem pengawasan internal yang tidak berjalan,” papar anggota Komjak Indro Sugianto, saat dihubungi, Kamis (14/7).

Tak hanya itu. Menurut Komjak, kasus-kasus yang terkuak di era Jaksa Agung Muhammad Prasetyo ini, menunjukkan bobroknya komitmen terhadap nilai-nilai luhur Kejaksaan.

“Disamping itu ada masalah tentang komitmen terhadap nilai-nilai yang jadi pegangan Kejaksaan. (Komitmen) itu mulai menurun, Satya Adhi Wicaksana,” terang dia.

Hal tersebut, sambung Indro, merupaka suatu efek domino lantaran tidak berjalannya pengawasan internal Kejaksaan. Terlebih, Korps Adhyaksa menurut Komjak seraya menutup rapat-rapat pintu masuk masyarakat, agar bisa mengawasi seluruh kegiatan Kejaksaan.

“Kemudian, mengimplementasikannya itu sangat besar pengaruh karena tidak berkerja pengawasan internal, juga akses masyarakat, tidak bisa mengawasi,” tutur Indro.

Ironisnya, permasalahan ini makin memburuk saat Kejaksaan dipimpin oleh Prasetyo, mantan Jaksa sekaligus politikus Partai Nasdem. Komjak sendiri berharap, masalah ini menjadi satu acuan penting untuk siapa pun yang memimpin Kejaksaan.

“Sebenarnya ini harus diperkuat, siapa pun yang memimpin Kejaksaan,” pungkasnya.

Seperti diketahui, dalam penanganan kasus dugaan korupsi PT Brantas, Kepala Kejati DKI disebut ikut turun tangan. Dia menjadi pihak yang dituju agar bisa mengamankan perkara salah satu BUMN itu.

Kasus korupsi PT Brantas kemudian berubah, usai KPK berhasil membongkar praktik suap antara petinggi PT Brantas dengan seorang makelar kasus di Kejaksaan bernama Marudut. Rencananya, ada uang sebesar Rp 2 miliar yang diberikan Direktur PT Brantas Sudi Wantoko melalui Marudut untuk orang paling berpengaruh di Kejati DKI, yang tak lain adalah Sudung.

Perkara lainnya yakni kasus suap yang menyeret Jaksa dari Kejati Jabar, Deviyanti dan Fahri Nurmalo. Keduanya, terungkap menerima suap dari terdakwa kasus korupsi penyelewengan dana BPJS Kabupaten Subang.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby