Kabaharkam Polri Komjen Fadil Imran (kedua kiri) bersama Komandan Korps Brimob Polri Komjen Imam Widodo (ketiga kiri) didampingi Asisten Operasi (Asops) Mabes Polri Irjen Verdianto Iskandar (kiri) dan Asrena Polri Irjen Wahyu Hadiningrat (kanan) memberikan paparan saat Raker dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (15/11/2023). Aktual/HO

Jakarta, aktual.com – Komjen Fadil Imran, yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri, tercatat juga merangkap posisi sebagai Komisaris di MIND ID, holding BUMN industri pertambangan Indonesia. Kondisi ini menjadi sorotan Komisi III DPR yang menilai potensi adanya pelanggaran hukum atas rangkap jabatan tersebut.

Berdasarkan informasi di situs resmi MIND ID per Rabu (2/7/2025), nama Muhammad Fadil Imran tercantum dalam jajaran komisaris. Dalam situs tersebut juga tercatat latar belakang Fadil sebagai lulusan Akademi Kepolisian tahun 1991, saat ini menjabat Kabaharkam, dan pernah menduduki jabatan Kapolda Metro Jaya dari November 2020 hingga 21 Maret 2023.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan kajian terhadap persoalan tersebut dan menemukan adanya ketidaksesuaian dengan regulasi yang berlaku.

“Berkaitan dengan polemik jabatan Komjen Fadil Imran sebagai Komisaris Mining Industry Indonesia (MIND ID), kami telah mengkaji bahwa terdapat potensi pelanggaran hukum yang terjadi, yakni rangkap jabatan yang tidak sesuai ketentuan,” ucapnya.

Habiburokhman menegaskan bahwa keikutsertaan anggota Polri dalam struktur BUMN dapat bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Menurutnya, peran ganda ini tidak dibenarkan secara hukum.

“Perlu kami sampaikan bahwa rangkap jabatan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di badan usaha milik negara (BUMN) dapat bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,” katanya.

Ia kemudian merujuk pada regulasi yang mengatur larangan tersebut. Dikatakan, “Aturan anggota Polri aktif merangkap jabatan diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri tidak boleh merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta, kecuali di bidang pendidikan, penelitian, dan bidang lain yang sejenis atas izin Kapolri. Demikian pula dalam Pasal 17 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang layanan publik, terdapat larangan pejabat publik melakukan rangkap jabatan.”

Lebih lanjut, Habiburokhman mengingatkan bahwa praktik seperti ini dapat menimbulkan konflik kepentingan dan mencoreng profesionalitas Polri.

“Rangkap jabatan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengganggu profesionalitas institusi kepolisian, serta bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena itu, rangkap jabatan Polri di BUMN juga berpotensi melanggar etika administrasi dan disiplin anggota, disamping bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.

Meskipun demikian, ia juga menyatakan apresiasi terhadap penempatan anggota Polri di lembaga yang membutuhkan kontribusinya. Namun ia menegaskan bahwa dalam konteks rangkap jabatan di BUMN, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh.

“Dalam hal rangkap jabatan anggota Polri di BUMN ini perlu untuk ditinjau ulang agar tidak melanggar ketentuan dan menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini akan berdampak positif terhadap upaya untuk menjaga citra Polri yang profesional, independen, dan akuntabel,” tutup Habiburokhman

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain