Jakarta, Aktual.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Kepala Divisi Pembiayaan II Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), RFL, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit tiga bank pelat merah kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan anak usahanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyampaikan bahwa pemeriksaan dilakukan oleh Tim Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) pada Jumat (18/7) di Jakarta.
Selain RFL, penyidik juga memeriksa tiga saksi lainnya, yakni RR selaku Relationship Manager Divisi Pembiayaan II LPEI, MM sebagai kasir PT Sritex, serta PDSG yang menjabat General Manager Inventory di perusahaan tekstil tersebut.
“Pemeriksaan dilakukan dalam perkara atas nama tersangka ISL dan kawan-kawan,” ujar Anang dalam keterangannya.
Menurutnya, pemeriksaan terhadap keempat saksi itu dilakukan guna memperkuat alat bukti dan melengkapi berkas perkara.
LPEI diketahui menjadi salah satu institusi yang ikut memberikan pembiayaan bersama Bank BNI dan Bank BRI dalam bentuk kredit sindikasi senilai sekitar Rp2,5 triliun kepada PT Sritex.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Sritex menerima kredit dari empat bank pelat merah, yakni:
- Bank Jateng senilai Rp395,66 miliar
- Bank BJB sebesar Rp543,98 miliar
- Bank DKI sebesar Rp149,01 miliar
- Kredit sindikasi BNI, BRI, dan LPEI sekitar Rp2,5 triliun
“Selain itu, Sritex juga mendapatkan fasilitas kredit dari 20 bank swasta,” ungkap Qohar.
Namun dalam prosesnya, terdapat dugaan pelanggaran hukum oleh para pejabat bank dalam pemberian fasilitas kredit kepada Sritex.
Di Bank DKI, kredit disetujui oleh Zainuddin Mapa selaku Direktur Utama. Sementara di Bank BJB, keputusan serupa dilakukan oleh Dicky Syahbandinata selaku Pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial.
Mereka disebut tidak menjalankan analisis kelayakan secara menyeluruh, tidak mematuhi prosedur, dan mengabaikan hasil penilaian lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch dan Moody’s yang memberikan rating BB- terhadap Sritex—indikasi risiko gagal bayar tinggi.
“Pemberian kredit tanpa jaminan seharusnya hanya bisa diberikan kepada perusahaan dengan peringkat A,” tegas Qohar.
Selain menyalahi prosedur dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Qohar menambahkan bahwa kredit juga diberikan tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian, yaitu 5C: Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition.
Fakta hukum menunjukkan, dana yang dikucurkan oleh Bank DKI dan BJB tidak digunakan sesuai tujuan awal, yakni modal kerja, melainkan untuk membayar utang lama dan membeli aset nonproduktif.
Akibatnya, kredit yang diberikan kepada Sritex dari kedua bank tersebut masuk kategori macet (kolektibilitas 5), dan aset yang ada tak mencukupi untuk menutupi kerugian negara karena tidak dijadikan jaminan.
PT Sritex kemudian dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang berdasarkan putusan Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Total kerugian negara akibat kredit bermasalah itu diperkirakan mencapai Rp692,98 miliar dari total tagihan (outstanding) sebesar Rp3,58 triliun.
Sritex, yang tercatat sebagai emiten di bursa, dimiliki oleh PT Huddleston Indonesia (59,03%) dan publik (40,97%). Perusahaan itu sempat mencatat kerugian sebesar US$1,08 miliar atau sekitar Rp15,66 triliun pada 2021, meskipun sebelumnya masih membukukan laba di 2020.
“Ini menjadi fokus penyidikan kami,” ujar Qohar.
Sejauh ini, penyidik telah menetapkan tiga tersangka: Direktur Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto, mantan Dirut Bank DKI Zainuddin Mapa, dan Dicky Syahbandinata dari Bank BJB. Ketiganya telah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung sejak 21 Mei hingga 9 Juni 2025.
Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.






















