Ketua KPK Agus Rahardjo. (ilustrasi/aktual.com)
Ketua KPK Agus Rahardjo. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dugaan adanya seorang direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menerima “fee” (komisi) di Singapura masih dalam tahap penyelidikan di KPK.

“Dugaan penerimaan ‘fee’ itu masih penyelidikan, jangan ditanya itu. Penyelidikan sudah, tapi kan tidak boleh diumumkan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Jakarta, Kamis.

Pada Rabu (14/9) Agus menyampaikan ada seorang direktur BUMN besar yang diduga menerima komisi di Singapura.

“Hari ini saya masih menyaksikan salah satu BUMN besar, direktur utamanya masih menerima fee. Menerimanya di Singapura, buka rekeningnya juga di Singapura supaya tidak di-‘trace’ oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), nah untungnya kita punya kerja sama CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau), itu semacam KPK Singapura,” ungkap Agus pada Rabu (15/9).

Agus mengatakan bahwa pola tersebut bukanlah hal yang baru.

“Sebenarnya pemberian di Singapura bukan barang baru, KPK pernah menangani Atut (mantan Gubernur Banten) sama Akil (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), jadi Petral, walaupun sekarang Petral belum selesai, ini bukan barang baru dan itu bukan hanya yang strategis-strategis. Banyak lagi yang biasa-biasa saja, tapi juga karena takut ke Singapura. Jadi biarkan kami mendalami, mencari alat bukti yang kuat, mudah-mudahan tidak lama,” ucap Agus Menurut Agus, uang yang tersimpan di bank di Singapura itu masih bisa ditarik.

“Ya bisa (ditarik) lah, masa tidak bisa. Kita masih dalami beberapa lagi. Sekarang yang ‘on going’ ada, tapi tidak perlu diungkapkan secara anunya,” tambah Agus.

Data tersebut menurut Agus diperoleh KPK dari berbagai sumber.

“Data awal kita dapatkan dari banyak sumber dan saat ini sedang kita matangkan, indikasi awalnya sangat kuat. Itu akan kita matangkan,” ungkap Agus.

Penyelidikan itu memperkuat tindakan KPK untuk memperluas pemberantasan korupsi di sektor swasta.

“Saya ingin KPK tidak menangani yang kecil-kecilnya. Tapi bisa masuk ke ranah swasta. Sekarang kan belum ada aturannya, Perma (Peraturan MA) pun hanya sebatas menetersangkakan pihak swasta, jadi maksud saya bisa masuk ke ranah swasta adalah perusahaan kan punya pembukuan sampai tiga macam: pajak beda, ke bank beda, ke ‘owner’-nya beda, jadi kan dia menyembunyikan keuntungan, kan. Pajak itu kan sebenarnya untuk distribusi kekayaan, kan, jadi kasihan kan kalau 1 persen orang menguasai 50 persen ekonomi kan gak sehat,” tegas Agus.

Sedangkan Alexander Marwata mengatakan bahwa selama ini pemerintah Singapura pun bersikap kooperatif.

“Pemerintah Singapura kan kooperatif ketika memang di pembuktian uang itu terbukti hasil gratifikasi atau suap terkait jabatan. Bisa kok, kita punya kerja sama baik dengan CPIB, KPK Singapura,” kata Alexander di Jakarta.

(Ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby