Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kedua kanan) bersama perwakilan dari Direktorat Jenderal Bea Cukai Agus Rofiudin, Inspektur II pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Feri Wibisono (kedua kiri) dan Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala memberikan keterangan usai dialog antara KPK, lembaga negara serta perwakilan sektor swasta di Gedung KPK Jakarta, Selasa (9/8). Pertemuan itu menyepakati penanganan dan pencegahan korupsi antara KPK, lembaga negara serta sektor swasta. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan metode penyerahan uang yang tidak biasa terkait kasus suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2019.

Dalam kasus itu, KPK menetapkan tiga tersangka, yaitu sebagai penerima Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie (KUR) dan Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI).

Sedangkan sebagai pemberi, yaitu Direkur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat (LIL).

“Metode penyerahan uang yang digunakan juga tidak biasa, yaitu LIL memasukan uang sebesar Rp1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukan kresek hitam pada sebuah tas,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Sesampai di depan ruangan Yusriansyah, lanjut Alex, tas kresek hitam berisi uang Rp1,2 miliar tersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan Yusriansyah.

“YRI kemudian memerintahkan BWI (Bagus Wicaksono/penyidik PNS) mengambil uang tersebut dan membagi Rp800 juta untuk KUR. Penyerahan uang pada KUR adalah dengan cara meletakkan di ember merah,” ungkap Alex.

Selanjutnya, Kurniadie meminta pihak lain untuk menyetorkan Rp340 juta ke rekeningnya di sebuah bank. Sedangkan sisanya Rp500 juta akan diperuntukkan pada pihak lain.

“Teridentifikasi salah satu komunikasi dalam perkara ini, setelah penerimaan uang oleh pejabat Imigrasi terjadi, yaitu: “makasi, buat pulkam”, ungkap Alex.

Dalam konstruksi perkara kasus itu, dijelaskan bahwa Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal.

“Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,” ucap Alex.

Merespons penangkapan tersebut, lanjut Alex, Liliana perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.

“Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. YRI kemudian menghubungi LIL untuk mengambil SPDP tersebut,” ujar Alex.

Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikan harga untuk menghentikan kasus.

“LIL kemudian menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tarsebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara YRI dan LIL untuk kembali membahas negosiasi harga,” tuturnya.

Dalam OTT itu, KPK mengungkap modus baru yang digunakan Yusriansyah, Liliana, dan Kurniadie dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara dan kemudian Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.

“Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar,” kata Alex.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Arbie Marwan