Warga melihat bangunan sekolah yang hancur tertimpa longsoran tanah dan turap di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 19 Tangsel Ciater, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (4/1). Longsor yang disebabkan karena hujan deras yang mengguyur kawasan tersebut serta adanya pengerukan tanah menimpa lima ruang kelas SMP 19 yang mengakibatkan kerusakan parah. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc/17.

Jakarta, Aktual.com – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membangun sistem peringatan dini longsor atau gerakan tanah di 24 lokasi yang tersebar di 15 provinsi di seluruh Indonesia.

Penerapan sistem yang bertujuan untuk menurunkan indeks risiko bencana di Indonesia itu merupakan hasil kerja sama BNPB dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

“Fokus lokasi penerapan 24 sistem peringatan dini gerakan tanah pada 2017 berada di 4 daerah perbatasan atau terluar, 4 daerah tertinggal dan 16 daerah pariwisata yang tersebar di seluruh Indonesia,” kata Direktur Kesiapsiagaan BNPB Medi Herlianto, Sabtu (17/6).

Data BNPB, sepanjang 2016 lalu, bencana longsor merupakan salah satu dari tiga bencana besar yang terjadi di Indonesia, setelah banjir dan puting beliung. Longsor merupakan salah satu bencana yang paling mematikan karena tingginya jumlah korban jiwa yang ditimbulkan.

Menurut Medi, setidaknya terdapat sekitar 40 juta warga terpapar potensi bahaya longsor dengan kategori sedang hingga tinggi sehingga diperlukan penanganan pengurangan risiko bencana.

“Kebutuhan pembangunan sistem ini sangat besar, total kebutuhan untuk lokasi-lokasi ancaman gerakan tanah sekitar 1.000 lebih. Ini perhitungan pada 2015. Mungkin saat ini bertambah seiring meningkatnya kerentanan lahan,” jelasnya.

Medi berharap agar Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan pemangku kepentingan di daerah mengikuti langkah ini. Pengurangan risiko bencana (PRB) sangat diperlukan menekan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan oleh bencana longsor.

PRB dalam konteks bencana longsor sering kali sulit dilakukan karena adanya resistensi warga dan minimnya anggaran yang tersedia. Dicontohkan relokasi warga sebagai realisasi dari PRB dalam konteks bencana longsor tidak semudah membalikkan telapak tangan karena membutuhkan kerja sama lintas instansi.

Padahal, kesiapsiagaan melalui penerapan sistem peringatan dini merupakan upaya yang penting sebagai langkah PRB yang efektif pada kondisi ini. Karena itu BNPB memfokuskan 24 lokasi rawan bahaya gerakan tanah pada 2017 yang diwujudkan dalam penandatanganan kerjasama penerapan sistem peringatan dini.

Ke-24 lokasi itu adalah Papua (Nabire), Maluku Utara (Ternate, Pulau Morotai), NTB (Bima), NTT (Alor, Belu, Ngada), Gorontalo (Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo), Sulawesi Barat (Bantaeng), Sulawesi Utara (Bitung, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan) dan Kalimantan Utara (Nunukan).

Selanjutnya Kalimantan Barat (Sintang), Kalimantan Timur (Samarinda), Bali (Badung), Jawa Timur (Malang), Jawa Tengah (Kendal, Wonosobo), Banten (Cilengon), Sumatera Barat (Solok Selatan), dan Bengkulu (Rejang Lebong).

Dari 24 lokasi itu, empat wilayah dikategorikan daerah tertinggal, yaitu Kabupaten Nabire, Pulau Morotai, Belu, dan Solok Selatang. Empat wilayah dikategorikan daerah perbatasan yakni Kabupaten Alor, Kota Bitung, Kabupaten Nunukan dan Sintang. Sisanya daerah yang dikategorikan daerah pariwisata.

(Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh: