Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar memaparkan kajian dan hasil pemantauan data vonis tindak pidana korupsi (tipikor) mulai tingkat Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, hingga tahap kasasi dan PK di Mahkamah Agung, di Jakarta, Sabtu (23/7). Hasil pemantauan perkara korupsi yang ditangani pengadilan pada semester pertama 2016 rata-rata vonis terdakwa korupsi hanya dua tahun satu bulan penjara, hal tersebut dianggap menguntungkan koruptor, kecenderungan atau tren hukuman dan tuntutan untuk pelaku korupsi semakin ringan dan mengurangi efek jera kepada koruptor. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (ALASKA) yang terdiri dari Lembaga Kaki Publik (Lembaga Kajian dan Analisa Keterbukaan Informasi Publik) bersama CBA (Center For Budget Analysis) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tetap berjihad melawan koruptor dengan cara melarang eks napi korupsi sebagai anggota legislatif.

Hal tersebut terkait penolakan Jokowi terkait usul KPU yang melarang eks napi koruptor menjadi calon anggota legislatif (caleg) di pemilu yang akan datang. Sebetulnya, Penolakan Jokowi bertentangan terhadap Nawacita yang ingin menciptakan revolusi sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi. Dan Hal ini menjadikan Nawacita jadi Nawa duka.

“Diperkirakan napi koruptor yang akan ikut menjadi caleg 2019 akan semakin banyak dan meningkat. Hal ini berdasarkan data pada Tahun 2016, terdapat 1.101 tersangka kasus pidana korupsi dengan mengalami kerugian negara hingga mencapai 1.5 Triliun. Dan Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2017 dengan 1.298 tersangka kasus korupsi yang mengakibatkan peningkatan kerugian negara mencapai 6.5 Triliun,” ujar Koordinator ALASKA, Adri Zulpianto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (3/6).

Menurutnya, apabila mantan Napi Koruptor tidak dilarang menjadi Caleg, maka bisa bisa Partai Politik dikuasai oleh mantan para koruptor, yang bukan hanya merusak partai politik tapi juga bisa merusak lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat.

“Tahun 2019, lembaga legislatif bukan lagi sebagai lembaga perwakilan rakyat tapi sudah berubah menjadi lembaga perwakilan koruptor,” jelasnya.

Selain itu, alasan lain kenapa Napi korupsi harus dilarang menjadi caleg. Karena jika dibiarkan mereka jadi caleg merupakan bentuk ketidakadilan bagi caleg miskin.

“Ditengarai mantan napi korupsi ini masih memiliki harta kekayaan tersembunyi dan melimpah yang bisa mempengaruhi para pemilih,” jelasnya.

Pada saat mantan napi korupsi d proses hukum, para penyidik tidak menggunakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada banyak tersangka koruptor. sehingga harta tersangka korupsi ini masih masih aman tersimpan untuk modal politik.

Selain itu, pihaknya menengarai harta kekayaan Napi Koruptor ini bisa digunakan sebagai modal untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Harta kekayaan ini juga bisa digunakan untuk mempengaruhi masyarakat agar mereka dapat terpilih dibandingkan dengan caleg miskin atau Dhuafa.

“Kami dari ALASKA menolak mantan Napi koruptor menjadi Caleg. mereka tidak pantas mewakili rakyat, karena mantan napi ini sudah memiliki dosa besar terhadap masyarakat, Dosa besar tersebut diperlihatkan ketika mereka, mencuri uang rakyat dan memiskinkan rakyat,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka