Jakarta, Aktual.com — Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah melalui pertimbangan hukum yang mendalam sehingga harus dihormati.

“Putusan MK itu kan final dan mengikat. Karena itu, putusan yang diambil sudah semestinya dihormati,” kata Saleh Partaonan Daulay dihubungi di Jakarta, Sabtu (20/6).

Menurut Saleh, keputusan tersebut tentu menimbulkan perbedaan pendapat. Bila ada pihak yang tidak puas, Saleh menilai itu merupakan bagian konsekuensi dari membawa perkara ke MK.

Karena itu, bila ada pihak yang belum puas terhadap putusan MK tersebut, Saleh mengatakan masih bisa mengambil jalan lain, misalnya dengan mengajukan revisi Undang-Undang Perkawinan. Namun, dia meragukan apakah tahun ini pemerintah dan DPR memiliki waktu untuk membahas revisi Undang-Undang itu.

“DPR sekarang memiliki PR yang cukup besar untuk menyelesaikan prolegnas. Kalau belum masuk prolegnas, saya kira perlu diperjuangkan lagi agar bisa masuk,” tuturnya.

Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan untuk merevisi usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun pada Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, meskipun Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berbeda pendapat dengan menyetujui perubahan usia perkawinan perempuan menjadi 18 tahun.

Dalam amar putusannya, MK menolak merevisi Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan karena tidak ada ajaran agama yang menjelaskan batas usia minimal perkawinan. Persyaratan untuk kawin hanya calon mempelai sudah akil balig serta bisa membedakan baik dan buruk.

Sedangkan perbedaan dari Hakim Maria berdasarkan pendapat bahwa pemahaman tentang hak asasi manusia telah berubah dibandingkan saat Undang-Undang Perkawinan dibuat.

Apalagi, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Perlindungan Anak.

Ketua MK Arief Hidayat menyatakan tidak bisa menetapkan batas usia perkawinan menjadi 18 tahun. Menurut dia, perubahan itu lebih tepat dilakukan melalui “legislative review” atau revisi melalui DPR.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid