Aceh, Aktual.com – Ketua LSM Masyarakat Damai Mandiri (Madani), T Sukandi, mengingatkan agar mewaspadai kepentingan investor dibalik penolakan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam.

“Kami mengingatkan kepada Fraksi Partai Aceh (PA) jangan sampai keputusan mereka menolak KEL dalam Qanun RTRW ditunggangi oleh kepentingan investor asing yang memanfaatkan hasil kekayaan hutan di daerah ini,” katanya, Rabu (5/10).

Apabila permintaan Fraksi PA DPRK Aceh Selatan diakomodir pemerintah pusat, maka hal itu sama dengan memberikan kebebasan kepada pihak tertentu untuk menjamah dan merusak Kawasan Ekosistem Leuser. Khususnya bagi para pebisnis atau investor asing yang akan menanamkan investasinya untuk menggarap kawasan hutan di dalam KEL.

Kecurigaan LSM Madani bukan tanpa alasan. Dimana fakta yang terjadi selama ini mayoritas kawasan hutan di Kabupaten Aceh Selatan telah ada kapling areal Kuasa Pertambangan (KP) oleh sejumlah investor dari luar daerah bahkan investor asing yang luasnya mencapai ribuan hektare.

Karena itu pihaknya mengingatkan agar pelepasan KEL yang diperjuangkan Fraksi PA semata-mata bertujuan memuluskan bisnis investor asing dengan memanfaatkan kawasan hutan yang membentang luas di Aceh Selatan. Jika sampai terjadi demikian, LSM Madani bersama masyarakat setempat akan berada di depan untuk mencegahnya.

Fraksi PA seharusnya juga tidak perlu memperlihatkan kekhawatiran berlebihan terkait keberadaan KEL di Aceh Selatan. Apalagi seluruh alasan yang dipaparkan Fraksi PA sebagai pembenaran untuk menolak keberadaan KEL terbantahkan atau sangat bertolak belakang dengan fakta di lapangan.

Buktinya, T Sukandi yang hadir langsung saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait proses pembahasan Rancangan Qanun RTRW di DPRK beberapa waktu lalu, tidak melihat adanya 90 persen masyarakat yang hadir menyuarakan aspirasi menolak keberadaan KEL di Aceh Selatan.

“Saya intens mengikuti RDPU secara berturut-turut selama tiga hari tidak mendengar ada 90 persen peserta yang hadir menolak keberadaan KEL, yang ada adalah masyarakat meminta kepada pemerintah supaya di kurangi kawasan hutan lindung dari yang ada sekarang ini,” jelasnya.

Timbulnya polemik terkait keberadaan KEL lebih disebabkan adanya kesalahan penafsiran dari Fraksi PA dalam memaknai KEL. Sukandi lantas menyampaikan bahwa yang dimaksud KEL terdapat beberapa kategori kawasan hutan. Mulai dari kawasan inti Leuser yang disebut kawasan lindung hingga kawasan penyangga disebut seperti suaka marga satwa, hutan industri, dan kawasan hutan produksi yang disebut areal penggunaan lain (APL).

Dengan kata lain bukan seluruh KEL tidak boleh di jamah atau dimanfaatkan oleh masyarakat, sebab didalamnya ada kawasan hutan penyangga leuser seperti APL yang notabenenya merupakan kawasan hutan industri dan hutan produksi. Dan, keberadaanya selama ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat secara bebas.

“Pada dasarnya hampir seluruh wilayah Aceh Selatan itu masuk ke dalam KEL, bahkan kantor Bupati Aceh Selatan saja masuk dalam wilayah KEL. Tapi itu bukan berarti tidak bisa dimanfaatkan sebab faktanya selama ini sudah dimanfaatkan oleh masyarakat secara bebas. Yang tidak boleh diganggu sama sekali itu adalah kawasan inti Leuser yakni TNGL,” kata dia.

(Antara)

Artikel ini ditulis oleh: