Apa Mahar untuk Jabatan Dirut?
Tampaknya Menteri Rini mempunyai gambaran tersendiri mengenai kepentingan gas di tanah air ke depannya, hal ini terlihat jelas betapa ngototnya Rini menghapus Direktur Gas di Pertamina dan Memasukkan PGN ke dalam Pertamina meskipun hal ini menuai penolakan publik.
Lalu kemudian dipertegas dalam bocoran rekaman percakapan Rini yang menjadi viral di publik, ia menyatakan akan membereskan PGN melalui holding agar tidak bersaing degan Pertamina. Dengan begitu, penguasaan infrastruktur distribusi dan suplai gas menjadi satu komando. Karena sebagaimana diketahui selama ini, PT PGN menguasai sekitar 80 infrastruktur distribusi gas nasional sedangkan Pertamina mempunyai produksi gas. Sehingga perencanaan pembangunan terminal penyimpanan dan regastifikasi LNG di Bojonegara, Banten, Jawa Barat akan semakin ideal.
“Pertamina beli juga, karena dia ada costumer juga, ini kan makanya kompetisi sama PGN ke depannya mau saya beresin gitu loh,” kata Rini.
Sama halnya dengan pemerintah, PT Bumi Sarana Migas (BSM) yang menjadi mitra Pertamina pada proyek itu, menyadari dengan gamblang prospek bisnis migas ke depan. Direktur BSM, Solihin Kalla menjelaskan bahwa gagasan proyek itu muncul didasari pada data Kementerian ESDM dan kajian Wood MacKenzie mengenai Outlook suplai gas tahun 2013-2030. Data tersebut menunjukkan akan adanya defisit neraca gas di Jawa Bagian Barat pada 2023 seiring dengan berkurangnya cadangan gas dari Sumatra dan meningkatnya akan kebutuhan konsumen.
“Pada 12 Mei 2014, nota kerjasama BSM dan Pertamina ditandatangani. Pada 1 April 2015 BSM meneken pokok-pokok kesepakatan (head of agreement/HoA),” kata Anak Jusuf Kalla ini.
Benar saja, analisa tersebut sangat tepat, jika melihat data lifting gas bumi sejak tahun 2013 hingga 2017 terus mengalami penurunan rata-rata 1.86 persen per tahun. Bahkan di tahun 2017 terjadi penurunan cukup signifikan mencapai 4,04 persen, yakni dari 1.185 menjadi 1.140 MBOEPD. Begitupun dari aspek cadangan gas, terlihat dalam delapan tahun terakhir secara rata-rata terus mengalami penurunan sebesar 1.317 persen per tahun, meskipun pada 2015 sempat mengalami kenaikan menjadi 151.3 TCF atau sebesar 1.34 persen. Namun dua tahun berikutnya turun signifikan menjadi 144 dan 143 TCF.
Maka tak heran saat kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Mike Pence ke Indonesia pada April tahun lalu, Wapres JK menginisiasi agar Pertamina menandatangi kontrak impor gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) dari perusahaan asal AS, ExxonMobile sebanyak 1 juta ton per tahun dalam kurun waktu 20 tahun terhitung sejak 2025.
Artinya, permasalahan sektor gas menjadi mahar tersendiri bagi calon Dirut Pertamina yang baru nantinya jika tidak ingin ditendang seperti Massa Manik. Yang tidak kalah penting, Dirut Pertamina juga harus manut menjalankan program populis pemerintah yakni Penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, BBM Satu harga dan ketersediaan LPG 3 Kg. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah demi menjaga wibawa Jokowi di tahun politik 2019.
Bahkan untuk hal ini, seakan mengantisipasi sabotase permainan harga BBM, pada 9 April 2018, Kementerian ESDM melakukan revisi keempat Permen 39 Tahun 2014 menjadi Permen 21 Tahun 2018 yang mana pemerintah bukan hanya mengatur harga BBM subsidi dan Penugasan, tapi juga mengatur harga penjualan BBM jenis umum.
Pada pasal 4 ayat 1 dikatakan setiap badan usaha hanya diperbolehkan mengambil margin maksimal 10 persen dari harga dasar. Kemudian ditegaskan pada pasal 4 ayat 3, setiap badan usaha yang ingin menaikkan harga, harus mendapat persetujuan dari Kementerian ESDM .
Baca selanjutnya…
Siapa Kandidat Kuat Jadi Dirut?
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta