Jakarta, Aktual.com – Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun untuk penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

“Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-204 bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham,” kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK, Haerudin dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (14/5).

Sjamsul Nursalim, menurut jaksa mendapatkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meski belum menyelesaikan kewajibannnya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang lancar (mirepresentasi).

“Perbuatan itu memperkaya Sjamsul Nursalim dan merugikan keuangan negara sejumlah Rp4,58 triliun,” ungkap Haerudin.

BDNI adalah badan untuk melakukan bank take over (BTO) dan BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan pengelolaannya dilakukan tim pemberesan yang ditunjuk BPPN pada 21 Agustus 1998.

Dengan status BBO itu, Bantuan Likuiditas (BLBI) BDI dialihkan dari BI ke BPPN sejumlah Rp37,039 triliun pada 29 Januari 1999 dan selanjutnya berupa fasilitas saldo debet sebesar Rp5,492 triliun.

Dalam penggunaan dana BLBI oleh BDNI ditemukan penyimpangan di antaranya transaksi pembelian valas dilakukan saat devisa netto melampaui ketentuan yang berlaku, melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet, melakukan pembayaran dana talangan keada kreditur luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah grup terkait pemberian kredit rupiah kepada grup terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di pasar uang antar bank.

Sehingga BLBI mewajibkan BDNI untuk mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian “Master Settlement Aqcuisition Agreement” (MSAA).

BPPN dengan tim aset manajemen Investasi (AMI) menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang berjumlah Rp28,048 triliun.

Pada 21 September 1998, dilakukan penandatangan kesepakatan antara Ketua BPPN Glenn MS Yusuf dan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali (PSP) BDNI yaitu BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya secara tunai atau berupa penyerahan aset sesuai perjanjian MSAA.

Dalam MSAA juga disepakati penyelesaian JKPS dengan pembayaran iuran tunai sebear Rp1 triliun dan Rp27,495 triliun kepada perusahaan yang dibentuk BPPN untuk melakukan penjualan aset yaitu PT Tunas Sepadan Investama (TSI).

Sesungguhnya pinjaman ke petambak udang yang diberikan BDNI sebagai modal kerja seharusnya dibayarkan PT DCD dan PT WM kepada BDNI sejak Februari dan Deember 1998.

Namun, untuk memenuhi isi MSAA, Sjamsul Nursalim menyerahkan aktiva/aset berupa piutang BDNI kepada tim valuasi BPPN sejumlah Rp4,8 triliun seolah-olah piutang lancar tapi setelah audit disimpulkan bahwa kredit petambak plasma digolongkan macet sehingga Sjamsul diharuskan mengganti kerugian kepada BPPN.

Ketua BPPN Glenn MS Yusuf lalu membuat surat pada 1 November 1999 dengan menyatakan Sjamsul Nursalim telah melakukan mirepresetasi atas kredit petambak sebesar Rp4,8 miliar dan Sjamsul diminta menyanggupi aset mengganti kerugian BPPN tersebut.

Sjamsul Nursalim pada 12 November 1999 menolak menambah aset untuk mengganti kerugian dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil (KUK) sehingga tidak perlu ada jaminan dari Sjamsul dan meminta BPPN untuk merestrukturisasi kredit petambak PT DCD karena merupakan aset nasional.

BPPN di bawah ketua baru yaitu Cacuk Sudariyanto memutuskan pada 27 April 2000 bahwa utang petambak yang dapat ditagih adalah Rp1,34 triliun dan utang yang tidak dapat ditagih yaitu Rp3,55 triiun diwajibkan untuk dibayar kepada pemilik atau pemegang saham PT DCD dan PT WM.

Namun Sjamsul Nursalim juga tidak bersedia memenuhi usulan restrukturisasi tersebut.

Pada 9 Desember 2000 dilakukan pertemuan antara Ketua BPPN Edwin Gerungan dengan Sjamsul Nursalim, Itjih S Nursalim dan Mulyati Gozali serta pihak KKSK yang diwakili oleh Rizal Ramli yang pada pokoknya membahas penyelesaian utang dan kewajiban BDNI.

Edwin Gerungan meminta kepada Sjamsul untuk memenuhi semua kewajibannya termasuk masalah utang BDNI secara keseluruhan dan utang petambak serta meminta Sjamsul untuk menyerahkan personal gurantee kepada BPPN.

Berdasarkan pertemuan itu, BPPN mengirim surat pada 13 Desember 2000 yang menyatakan BPPN akan melakukan restrukturisasi utang petambak yang macet sebesar Rp4,8 triliun dengan Rp1,3 triliun utang petambak dan sisanya Rp,35 trilun dibebankan kepada keluarga Sjamsul Nursalim sehingga menambah kewajiban keluarga Sjamsul sebesar Rp28,5 triliun menjadi Rp32 triliun dan pada 19 Desember 2000 BPPN mengirimkan surat eksekusi.

Tapi Sjamsul melalui PT DCD dan PT WM menolak eksekusi. Sjamsul pun meminta restrukturisasi lagi dengan dengan meminta debitur (pengutang) hanya menanggung sejumlah Rp455 miliar.

“Pada 17 Januari 2002 dilakukan pertemuan antara BPPN, Sjamsul Nursalim dan terdakwa yang saat itu masih menjabat sebagai Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang isinya Sjamsul tidak bersedia memenuhi usulan restrukturisasi dari BPPN dan Sjamsul meminta agar porsi utang unsustainable dibahas bersama Sjmasul, BPPN serta terdakwa selaku Sekretaris KKSK,” kata jaksa Haerudin.

Pada 29 Maret 2001, Ketua KKSK Rizal Ramli menandatangani keputusan KKSK mengenai tindak lanjut restrukturisasi PT DCD sesuai usulan Syafruddin menanggung utang Rp1,9 triliun, tapi besaran itu ditolak oleh PT DCD.

Pada 23 November 2001, Ketua BPPN I Putu Gede Ary Suta mengeluarkan disposisi tulisan tangan kepada Robertus Bilitea selaku Kepala Divisi Litigasi yang pada intinya memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan hutang petambak kepada restrukturisasi.

Pada 22 April 2002, Syafruddin diangkat menjadi Ketua BPPN menggantikan I Putu Gede Ary Suta. Pada 7 Oktober 2002, Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti menetapkan Keputusan KKSK kewajiban Sjamsul Nursalim untuk melakukan pembayaran di muka sebesar Rp1 miliar dan segera menyelesaikan kekurangan pembayaran kewajibannya sebesar Rp428 miliar secara mayoritas tunai.

Syafruddin lalu memerintahkan untuk menunjuk konsultan independen dan legal advisor guna melakukan perhitungan atas “sustainable” utang petambak plasma, inventarisasi kebutuhan modal kerja, kebutuhan investasi petambak plasma dan verifikasi jaminan hutang petambak plasma.

Selanjutnya pada 21 Oktober 2003 dilakukan rapat di kantor BPPN yang dipimpin oleh Syafruddin.

Menurut Syafruddin jika pemegang saham sudah menyampaikan permasalahan adanya penjaminan hutang petambak sudah disampaikan kepada BPPN dalam Disclosure Schedule maka hal tersebut bukanlah merupakan misrepresentasi.

“Setelah itu terdakwa selaku pimpinan rapat langsung menyimpulkan bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi atas utang petambak, padahal terdakwa mengetahui pasti bahwa Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dengan menampilkan seolah-olah utang petambak sebagai hutang lancar yang mengakibatkan kerugian BPPN sebesar Rp4,8 triliun,” jelas jaksa Haerudin.

Karena Syafruddin menyimpulkan Sjamsul sebagai debitur yang tidak melakukan misrepresentasi maka ia tidak memberikan perintah agar Divisi Aset Manajemen Kredit (AMK) berkoordinasi dengan Aset Manajemen Investaasi (AMI) sehingga proses restrukturisasi atau penjualan piutang BDNI kepada petambak tidak lagi melibatkan Divisi AMI yang menangani PKPS.

“Padahal saat terdakwa menjabat sebagai Sekretaris KKSK mengetahui secara jelas bahwa piutang BDNI kepada tetambak merupakan aset yang terkait PKPS yang harus menjadi tanggung jawab Sjamsul dan Terdakwa menjamin KKSK setuju porsi ‘unsustainable debt’ akan ditagihkan kepada pemilik saham PT DCD maupun PT WM yaitu Sjamsul Nursalim” ungkap jaksa.

Selain itu pada 17 Januari 2001, Syafruddin pernah ikut terlibat dalam pembahasan mengenai penyelesaian porsi “unsustainable debt” petambak dengan debitur dan BPPN, sehingga Syafruddin sangat mengetahui bahwa Sjamsul merupakan debitur yang telah misrepresentasi dalam pelaporan aset terkait piutang BDNI terhadap petambak.

Pada 11 Februari 2004 dilaksanakan Sidang Kabinet Terbatas (Ratas) yang dihadiri diantaranya oleh Dorojatun Kuntjoro-Jakti dan Syafruddin.

“Di dalam Ratas tersebut terdakwa melaporkan kepada Presiden RI Megawatai Soekarnoputri terkait utang petambak besarnya adalah Rp3,9 triliun, utang yang bisa dibayar adalah sebesar Rp1,1 miliar dan sisanya Rp2,8 triliun diusulkan untuk di write off (dihapusbukukan),” tambah jaksa.

Syafruddin juga menyampaikan kemungkinan untuk dilakukan penghapusan pembukuan di BPPN, namun tidak melaporkan aset berupa hutang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul terdapat misrepresentasi pada saat penyerahannya ke BPPN. Bahwa atas laporan Syafruddin tersebut, kesimpulan Ratas tidak memberikan keputusan dan tidak mengeluarkan penetapan terkait dengan utang petambak.

Ringkasan Eksekutif BPPN 16 Januari 2004 kepada KKSK yang pada pokoknya Syafruddin selaku Ketua BPPN mengusulkan agar KKSK memutuskan antara lain penghapusan atas porsi “unsustainable debt”petambak plasma sekitar Rp2,8 triliun.

Dorojatun selaku ketua KKSK pun sependapat dengan Syafruddin dan mengeluarkan Keputusan yang menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta tanggal 27 April 2000 dan memerintahkan porsi “unsustainable debt” seluruhnya ditagihkan kepada pemegang saham PT DCD dan PT WM yaitu Sjamsul Nursalim tidak berlaku padahal Dorojatun Kuntjoro-Jakti telah mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dan diharuskan untuk mengembalikan atau mengganti kerugian kepada BPPN berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK tanggal 29 Mei 2002.

Dengan adanya usulan Syafruddin selaku ketua BPPN yang kemudian diikuti oleh Keputusan KKSK pada 13 Februari 2004 tersebut maka piutang BDNI kepada petambak diperlakukan seperti aset kredit yang tidak terkait dengan PKPS dan keputusan yang mencabut 2 SK KKSK sebelumnya yang memerintahkan penagihan piutang kepada Sjamsul menjadi tidak berlaku sehingga mengakibatkan hilangnya hak tagih negara dalam hal ini BPPN kepada Sjamsul Nursalim.

Pada 17 Maret 2004, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas penyelesaian PKPS, namun Syafruddin tidak memberikan laporan rinci mengenai penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya mengenai misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp4,8 triliun serta tidak melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul Nursalim atas misrepresentasi tersebut.

Syafruddin juga tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya mengubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi, sehingga pada akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan yang isinya menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN.

Pada 12 April 2004, Syafruddin dan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham yang diwakili oleh istrinya Itjih S Nursalim menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir No. 16 dihadapan Notaris Maratin Roestamy yang menyatakan bahwa Pemegang Saham telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.

Sehingga pada 26 April 2004 Syafruddin menandatangani surat perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul yang menyatakan Sjamsul telah menyelesaikan kewajiban PKPS sebesar Rp28,408 triliun kepada BPPN, termasuk penyelesaian seluruh kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana dipersyaratkan dalam perjanjian PKPS.

Akibat perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim menyebabkan kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK 25 Agustus 2017.

Syafruddin didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Syafruddin juga mengajukan eksepsi yang akan dibacakan pada 21 Mei 2018.

“Kami akan mengajukan eksepsi melalui tim penasihat hukum kami (Yusri Ihza Mahendra),” kata Syafruddin.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: