Jakarta, Aktual.com — Semua manusia pasti pernah marah. Karena marah merupakan sifat fitrah yang dimiliki oleh manusia. Bohong besar jika ada orang di dunia ini yang mengaku dirinya tidak pernah marah. Pada umumnya, manusia diciptakan sebagai makhluk yang bersosial yang sentiasa berinteraksi dengan orang lain, sangat mungkin terjadinya perbedaan pendapat dan watak yang boleh memicu kepada kejengkelan dan kemarahan.
Hal ini sangat biasa, terutama dalam kehidupan rumah tangga, perselisihan suami istri yang seringkali tak terhindari, dan juga pergaulan sosial. Rasulullah SAW telah bersabda,
“Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”(HR. Bukhari)
Umar bin Khathab pernah berkata di dalam khutbahnya, “Orang yang beruntung di antara kalian adalah orang yang terjaga dari ketamakan, hawa nafsu, dan amarah.”
Dalam kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali membagi sikap marah menjadi tiga bagian. Marah yang terpuji, marah yang tercela, dan marah yang diperbolehkan,
Pertama, marah yang terpuji. Yaitu bila dilakukan dalam rangka membela diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang dizalimi.
Allah SWT berfirman,
وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَىٰ إِلَىٰ قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِنْ بَعْدِي ۖ أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ ۖ وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ ۚ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ وَلَا تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya, “Dan tatkala Musa AS telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim.”( Al A’raf : 150)
Kedua, kemarahan yang diharamkan. Yaitu kemarahan karena demi membela yang batil dan kemaksiatan, seperti marah karena ditegakkannya hukum Allah SWT, marahnya banyak orang yang menutup aurat, atau marah demi membela kemunkaran seperti pornografi, perjudian, perzinahan dan kemaksiatan lainnya.
“Sebagai contoh yang nyata yaitu, saat ini khususnya di Indonesia ada beberapa aktivis dan elemen yang membela LGBT dan dalam Islam LGBT itu sangatllah dilarang. Dan orang-orang yang membela komunitas tersebut sebenarnya telah ditutup mata hatinya,” kata Ustad Muhammad Ikrom, kepada Aktual.com, di Jakarta, Jumat (26/02).
Ketiga, marah yang diperbolehkan (mubah) adalah yang tak terkait dengan perbuatan maksiat.
“Untuk itu jika kita melihat ada suatu kemunkaran yang dilakukan maka sebagai seorang Mukmin harus muncul kemarahan dalam hati kita dan rasa benci karena Allah SWT terhadap kemunkaran yang dilakukan tersebut. Dan jika kita mampu maka kita berusaha melakukan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang paling baik dan cocok menurut kita yang dapat menghentikan kemunkaran tersebut. Dan, jika kita tidak mampu atau menurut kita akan menimbulkan mudharat yang lebih besar maka paling tidak harus ada kemarahan dan kebencian terhadap kemunkaran yang dilakukan tersebut dan itu adalah selemah-lemahnya keimanan seseorang,” katanya lagi menerangkan.
Rasulullah SAW bersabda,
عن أبي سعيد الخدري –رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry RA, ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim).
Ustad Ikrom menjelaskan, dalam hal ini, bila kita melihat suatu keluarga yang melakukan kemunkaran, maka harus muncul kemarahan dalam hati kita karena Allah SWT tidak menyukai kemunkaran hamba-Nya lakukan.
“Dan, jika kita mampu memberikan nasihat kepada mereka dengan cara yang baik agar mereka menghentikan kemaksiatan dan kemunkaran yang dilakukan, maka hendaknya kita lakukan. Dan jika mereka tidak mengindahkan nasehat kita, maka sebaiknya kita mejauhi keluarga seperti itu,” kata ia menambahkan.
Allah SWT berfirman,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Artinya, “Dan sungguh Allah SWT telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (An Nisa` : 140). Bersambung…..
Artikel ini ditulis oleh: