Petani memelihara daun tembakau di perkebunan tembakau Kampung Cimuncang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jumat (27/5). Harga tembakau basah ditingkat petani saat ini mencapai Rp 3.500 per kilogram sedangkan harga tembakau kering mencapai Rp 80.000 per kilogram. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/Spt/16

Jakarta, Aktual.com – Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid mendesak Pemerintah dan DPR RI segera mengesahkan RUU Pertembakauan sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan petani tembakau Indonesia.

Pasalnya, kata Yenny, kedaulatan petani tembakau saat ini terancam seiring dengan maraknya tembakau impor yang menyerbu Indonesia, utamanya dari China.

“Tembakau merupakan aset bangsa Indonesia. Karena itu, negara harus segera membuat UU yang memayungi kepentingan petani tembakau dan bertumpu pada nilai-nilai kesejahteraan,” ungkap Yenny Wahid, dalam keterangan yang diterima, Minggu (31/7).

Yenny mengaku melihat dan mendengar sendiri para petani tembakau saat ini terancam ‘kehilangan dapur’ akibat serbuan tembakau impor. Padahal, tidak ada tanaman yang menjadi andalan ekonomi sekaligus tulang punggung penghidupan masyarakat, kecuali tembakau.

Selama ini, sebut dia, para petani tembakau terbukti mampu menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, hingga membangun masjid dan melestarikan seni tradisi. Bahkan indikasi lainnya, tidak ada warga di daerah ekonomi tembakau yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT).

“Itu semua terancam oleh tembakau impor,” cetus Yenny.

Lebih lanjut ia menegaskan, kunci untuk menyelamatkan petani tembakau yang jumlahnya mencapai 6,3 juta harus melalui kebijakan pembatasan impor tembakau secepatnya.

Berdasar data, kata Yenny, impor tembakau yang masuk ke negeri ini, jumlahnya sudah melebihi batas toleransi. “Makanya perlu kebijakan tegas. Karena menyelamatkan petani tembakau sama dengan menyelamatkan Indonesia,” tegas putri Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid ini.

Regulasi impor tembakau, diakui Yenny, memang masih longgar. Akibatnya, jumlah tembakau impor selalu meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengalihan kebutuhan industri. Jika dulu menggunakan bahan baku lokal, kini cenderung beralih ke tembakau impor.

Tembakau impor, menurut Yenny, juga berpotensi memicu ambruknya pondasi perekonomian petani lokal di daerah sentra pertembakauan, yang notabene memiliki spesifikasi tanah, cuaca, dan posisi geografis tersendiri.

“Di sini lah pentingnya pemerintah hadir melalui regulasi yang lebih melindungi petani tembakau. Bukan malah membunuhnya,” tandas Yenny.

Yenny juga melakukan prosesi petik perdana tembakau di Temanggung, Jawa Tengah. Baginya, ini jadi momentum refleksi atas eksistensi petani tembakau dalam konteks budaya bercocok tanam.

Karenanya, momen panen harus mencerminkan sikap optimistik bahwa ke depan budaya bercocok tanam tembakau masih akan berlangsung dengan membanggakan bagi komunitas petani penanamnya.

“Ini mengingatkan kita, berkah alam telah menjadikan tembakau memiliki keunggulan dan dapat memberikan kesejahteraan kepada petani tembakau. Di samping efek menetes yang luar biasa. Itu yang membedakan tembakau dengan tanaman lain,” pungkasnya.

 

Laporan: Bustomi

Artikel ini ditulis oleh: