Jakarta, Aktual.com – Menjelang akhir tahun 2016, Google menjadi pusat perhatian pemberitaan tanah air. Raksasa teknologi asal Amerika Serikat itu diketahui enggan membayar pajak di Indonesia. Padahal transaksi iklan digitalnya ditengarai lebih dari Rp10 triliun. Usut punya usut, meski punya kantor perwakilan di tanah air, transaksi digital Google melalui mekanisme yang lain.
Pada Maret 2016 Pemerintah pernah mengultimatum Google dan beberapa layanan Over The Top (OTT) seperti Twitter serta Facebook untuk membayar pajak, selain membuka kantor perwakilan di tanah air. Bila masih melanggar, Pemerintah mengancam akan memblokir layanan tersebut di tanah air.
“Sebenarnya masalah Google tidak hanya soal pajak. Namun lebih jauh lagi, Google juga punya kerentanan keamanan, khususnya isu program PRISM, sebuah proyek mata-mata yang melibatkan raksasa teknologi seperti Google. Program PRISM ini tujuannya mengumpulkan informasi penting dari seluruh dunia. Karena informasi kini banyak lewat internet, maka raksasa teknologi khususnya dari AS dipaksa membuka akses oleh intelejen AS seperti NSA,” ujar Pakar keamanan cyber Pratama Persadha dalam keterangan yang diterima Rabu (21/9).
Terlepas dari isu spionase tingkat tinggi, lanjutnya, langkah ini merupakan momentum yang bagus bagi pemerintah untuk mengembangkan aplikasi dan layanan OTT lokal. Pemerintah bisa memprogramkan aplikasi yang bisa dipakai umum maupun khusus untuk pejabat penting negara.
“Dengan kondisi ini seharusnya pemerintah bisa memprioritaskan untuk membangun aplikasi maupun OTT lokal. Efeknya jelas, pemberdayaan SDM lokal, pemerintah lebih mudah menarik pajak dan ada kemandirian teknologi. Selain itu, seharusnya lebih aman, karena server di tanah air dan langsung diawasi,” jelas Pratama yang juga Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communcation and Information System Security Research Center) ini.
Menurutnya, China bisa menjadi contoh baik dalam menghadapi Google. Karena ada ancaman instabilitas bila Google bebas “berpraktek” di negeri tirai bambu tersebut, maka layanan Google maupun media sosial seperti Facebook harus dilarang di sana.
“China memberikan alternatif pada warganya seperti Baidu, Weibo dan QQ. Ini membuat kebijakan melarang Google dan Facebook tidak terlampau berpengaruh di negeri itu. Karena itu, seharusnya ini jadi momentum pemerintah Indonesia untuk mengembangkan layanan OTT lokal,” terangnya.
Pratama menilai SDM Indonesia sudah banyak diakui dunia internasional. Seharusnya tidak sulit bagi pemerintah untuk membangun OTT lokal. Hanya dibutuhkan kebijakan dan bantuan prasarana yang mendukung terwujudnya OTT lokal.
“OTT lokal yang mandiri berimbas pada keamanan negara yang lebih terjamin. Tanpa memakai Google, para pejabat dan diplomat bisa memakai email buatan lokal yang terenkripsi misalnya untuk berkomunikasi, sehingga tidak khawatir untuk diretas pihak asing,” jelas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka