Jakarta, Aktual.com — Regenerasi menjadi faktor yang serius dalam konteks penguatan pangan khususnya pada petani padi. Koordinator Pokja beras ADS, Said Abdullah menerangkan, jika melihat trennya pada Sensus 2014 yang menjadi petani usia di bawah 35 tahun hanya berjumlah 12 persen dari total petani di seluruh Indonesia. Sedangkan, yang berusia 45 tahun ke atas mencapai 61 persen.

“Mayoritas petani kita sudah uzur, bahkan di Klaten saya menemukan petani berumur 73 tahun,” demikian kata Said kepada Aktual.com, di Jakarta, Kamis (15/10).

Ia mengatakan, soal paradigma pemerintah yang salah hanya mendorong peningkatan produksi tanpa memperhatikan kesejahteraan petani, khususnya dalam hal regenerasi.

“Proses regenerasi di Indonesia itu hanya nol sampai satu persen, rendah sekali jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga,” katanya lagi.

Dengan rendahnya jumlah regenerasi petani, tentu akan berimbas terhadap ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian

“Kalau jumlah tenaga kerjanya berkurang, maka dikhawatirkan proses produksi akan bermasalah. Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor regenerasi petani kita berkurang. Hari ini dalam konteks sosiologi sosial, petani jadi kelas yang paling rendah,” urainya menjelaskan.

Dalam meningkatkan regenerasi petani, Said menyarankan, pemerintah Jokowi-JK harus merubah paradigma yang salah tersebut.

“Dari sekadar meningkatkan produksi ke meningkatkan pendapatan petani. Geser kebijakan dari hulu ke hilir, proses inovasi teknologi. Karena bagaimanapun eranya berbeda, kita tidak bisa lagi mengandalkan teknologi lama (bukan berarti tidak penting, red) butuh inovasi agar menarik, atraktif bagi anak-anak muda,” paparnya lagi.

“Syaratnya adalah teknologi tersebut dimiliki oleh bangsa Indonesia bukan dari luar,” tegasnya.

Di samping itu, kata ia, dukungan Lembaga Negara atau Instansi yang terkait harus ada. Saat ini alokasi anggaran untuk mendukung Lembaga-lembaga pendidikan semakin mengecil.

Selain itu, saat ini, menurutnya, penyebaran teknologi lebih banyak melayani kepentingan korporasi atau perusahaan besar ketimbang me-support petani.

“Sangat dikit sekali teknologi yang diterapkan secara ‘free’ untuk petani. Saya bayangkan nanti pada tahun 2025 tidak ada petani,” kata ia menutup pembicaraan.

Artikel ini ditulis oleh: