Ukraina, negara pecahan dari Uni Soviet yang sekarang merupakan negara sendiri, agaknya sekarang jadi sekutu strategis AS dan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Tak heran jika Washington memperlakukan Ukraina saat ini seperti anggota NATO.

 

Pada 27 September lalu AS mendonasikan bantuan militer berupa dua pesawat tempur kepada pemerintahan Ukraina pimpinan Viktor Poroshenko. Bantuan militer berupa dua pesawat tempur itu tiada agar digunakan Ukraina untuk menghadapi Rusia. Pesaing global AS di Timur Tengah dan Asia Tengah saat ini.

 

Bukan itu saja. Sebuah situs  https://www.strategic-culture.org

baru-baru ini menurunkan sebuah artikel menarik bertajuk US Switching to Ukraine as Location to Start World War III Against Russia.

Yang mana dalam artikel itu mengisyaratkan Ukraina bakal jadi medan perang proxy AS versus Rusia, yang berpotensi menjadi Perang Dunia III yang diwarnai oleh perang nuklir yang dilanckarn kedua negara adikuasa tersebut.

Jika demikian, maka Suriah yang semiula jadi medan proxy AS versus Rusia sejak krisis Suriah berlangsung pada 2011 lalu, agaknya akan segera bergeser ke Ukraina.

Pada 4 September lalu, Presiden Donald Trump memperingatkan Suriah, Iran dan Rusia,  agar tidak menumpas para milisi bersenjata binaan AS dan NATO yang berbasis di provinsi Idlib. Jika ketiga negara itu bersikukuh menumpas, AS akan melancarkan invasi militer besar-besaran terhadap Suriah, Iran dan Rusia.

Kalau skenario in benar-benar jadi kenyataan, maka baik AS dan Rusia akan meningkatkan eskalasi militernya sampai pada taraf penggunaan senjata nuklir.

Alhasil, perang konvensional segera beralih jadi perang nuklir. Maka itu menarik mencermati dua pertemuan penting pada 7 dan 17 September lalu. Yang mana baik Rusia, Turki, Iran dan Suriah, bersepakat untuk mengalihkan kendali kekuasaan provinsi Idlib kepada Turki sebagai salah satu negara anggota NATO.

Hal ini merupakan hasil kesepakatan antara Putin, Rouhani, Erdogan dan Assad. Kesepakatan tersebut untuk sementara berhasil membendung niat AS dan sekutunya NATO untuk melancarkan invasi militer berskala besar terhadap Rusia maupun Suriah dan Iran.

Bagi AS dan NATO kendali kekuasaan terhadap provinsi Idlib di Suriah amat vital karena disanalah milisi-milisi bersenjata binaan CIA yang terkait dengan Al Qaeda bercokol.

Menariknya, mengingat kecenderungan Turki saat ini yang justru semakin merapat kepada persekutuan Rusia-Iran-Suriah, maka jika perang terbuka AS versus Rusia tak terhindarkan, maka Turki yang notabene merupakan anggota NATO, juga akan ikut diperangi oleh AS.

Sejak berkecamuknya perang saudara antara pemerintahan Bashar al Assad versus kelompok pemberontak, AS telah memberi bantuan pelatihan militer dan senjata kepada kelompok-kelompok bersenjata yang berasal dari jaringan Al Qaeda.

Al Qaeda sendiri sejak 2001 pasca Bom WTC dan Pentagon, dipandang merupakan binaan intelijen CIA dan Inter Service Intelligence (ISI) Pakistan.

Para milisi bersenjata yang terkait dengan jaringan Al Qaeda iitu, dilatih dan dibina oleh AS untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Assad. Namun hingga kini belum berhasil menumbangkan Assad.

Sehingga ambisi AS dan dinasti Arab Saudi untuk membentuk pemerintahan boneka di Suriah, agaknya masih jauh panggang dari api. Apalagi setelah Rusia berhasil membangun kesepakatan strategis dengan Suriah, Iran dan Turki.

Maka saat ini peran Turki jadi vital dan strategis. Menjadi penyangga antara AS dan NATO di satu pihak, dan Suriah-Iran di pihak lain.

Bisa jadi akibat terciptanya keseimbangan antar kekuatan adikuasa di Suriah yang bermuara pada jalan buntu, sejak 2014 lalu AS dan NATO mulai menerapkan rencana B. Menggeser medan perang proxy dari Suriah ke Ukraina.

Maka pada 2014 itulah AS dengan dukungan dari Jerman dan beberapa negara Uni Eropa, mendorong penggulingan Presiden Viktor Yanukovich dari kursi kepresidenan. Dan memunculkan Poroshenko sebagai kepala pemerintahan baru boneka AS dan Blok Barat.

Dengan mengandalkan dukungan dari partai Svoboda yang berhaluan fasisme/nazisme sebagai salah satu pilar dari pemerintahan koalisi di bawah pimpinan Poroshenko.

Sepertinya, manuver penggulingan Yanukovich pada 2014 merupakan langkah awal membangun sebuah basis baru di Ukraina, sebagai medan perang proxy AS versus Rusia, untuk memicu meletusnya Perang Dunia III.

Dengan begitu, bantuan dua pesawatt tempur dari AS kepada Ukraina baru-baru ini, agaknya dimaksudkan sebagai alat untuk memblokade angkatan laut dan angkatan udara Rusia.

Jika prediksi ini benar kejadian, maka senjata nuklir akan ikut memainkan peran sehingga perang konvensional segera beralih jadi perang nuklir. Siapapun, entah AS atau Rusia, yang akan duluan menekan tombol peluncuran senjata nuklir.

Kalau melihat gelagat perilaku Presiden Trump yang sepertinya selalu mengintegrasikan diplomasi ekonomi-perdagangannya dengan peningkatan eskalasi kekuatan militernya, prediksi menuju perang dunia III dengan menggunakan senjata nuklir, agaknya bukan sekadar angan-angan kosong. Hal terburuk bisa saja terjadi.

Hendrajit, Redaktur Senior.