Seni berperang yang ditulis oleh Sun Tzu pada 2500 tahun yang lalu dalam bahasa klasik Tiongkok kuno, yang sangat sulit dipahami, telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia. Karya ini telah menjadi bacaan, bukan saja bagi kalangan militer dan pemimpin negara dalam dunia politik maupun strategi perang yang digunakan oleh militer modern, tetapi juga mengilhami para pemilik usaha, perusahaan besar, serta dewan direksinya dalam menerapkan strategi dalam persaingan bisnis.
Tokoh sekaliber Jenderal Douglas MacArthur pada Perang Dunia Kedua merupakan salah satu yang mengagumi seni strategi perang dari Sun Tzu, hingga menjadikannya bacaan wajib di akademi militer dan pendidikan Korps Marinir Amerika Serikat. Pemimpin Tiongkok Mao Zedong (Mao Tse Tung) juga merupakan penggemar strategi peperangan Sun Tzu dari zaman Tiongkok kuno. Kepala-kepala negara, pemerintahan, serta jenderal-jenderal dari kalangan militer di negara-negara besar maupun dunia ketiga juga merupakan pembaca setia tulisan Sun Tzu. Strategi peperangan ini tidak hanya dimaknai dari perspektif militer, politik, dan bisnis, tetapi juga dapat dilihat sebagai strategi spiritual, yakni peperangan melawan ego, hawa nafsu, dan amarah diri.
“Perang adalah tempat di mana hidup dan mati bertemu…” Itulah pendapat Sun Tzu dalam ilmu perang. Sun Tzu menyatakan bahwa memahami sifat perang sangat penting bagi negara. Perang adalah tempat di mana hidup dan mati bertemu. Ia merupakan jalan menuju kehancuran atau keselamatan, sehingga membutuhkan perencanaan yang matang. Sun Tzu menjelaskan lima faktor penentu dalam perang yang harus diperhatikan:
Pedoman moral
Langit
Bumi
Panglima
Aturan
Setiap langkah dalam peperangan, dunia politik, hukum, sosial kemasyarakatan, maupun bisnis harus memiliki moral kesatria: berani bertanggung jawab sebagai pemimpin, berkorban, jujur, dan bijaksana.
Unsur kedua adalah “Langit.” Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan “Langit” adalah keterkaitan antara alam semesta, diri manusia, dan Tuhan sebagai pemilik alam raya. Unsur ini harus dipahami dengan baik sebagai pedoman moral.
Faktor ketiga adalah “Bumi,” yang bermakna menyatu dengan tempat kita berpijak. Filosofinya adalah kita harus menggunakan tata cara yang sesuai dengan tradisi, kultur, dan kebiasaan di mana kita berada dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Faktor keempat adalah “Panglima,” yang berarti adanya pemimpin yang dapat memberikan perintah, petunjuk, dan arahan. Pemimpin diperlukan di setiap dimensi kehidupan, baik dalam militer, politik, hukum, sosial budaya, maupun bisnis. Dalam diri kita sendiri, panglima ini adalah hati (qolbu) yang memberikan arahan dan saringan dalam mengambil keputusan hidup.
Faktor kelima adalah “Aturan.” Setiap dimensi kehidupan memiliki aturan yang harus dijalani dan dipatuhi agar segalanya berjalan teratur. Pelanggaran aturan akan mengakibatkan keruntuhan. Aturan ini berlaku di semua lini kehidupan, mulai dari militer, politik, hukum, hingga peperangan melawan ego pribadi.
Jenderal, menurut Sun Tzu, harus memiliki kebijaksanaan, kejujuran, keberanian, dan disiplin. Prinsip ini tidak hanya berlaku di militer, tetapi juga dalam politik, hukum, sosial, dan kehidupan pribadi. Jenderal adalah simbol akal dan hati kita, yang harus bijaksana, jujur, berani, dan disiplin untuk mencapai kesuksesan.
Sun Tzu juga menyatakan bahwa dalam seni perang, lebih baik menawan seluruh negara daripada memecahnya, menawan pasukan daripada menghancurkannya. Prinsip ini menekankan bahwa kemenangan sejati bukanlah melalui pertempuran, tetapi melalui strategi yang mampu mengalahkan musuh tanpa pertempuran.
Makna ini sejalan dengan filosofi Jawa: “Ngeluruk Tanpa Bolo, Menang Tanpa Ngasorake”, yang berarti menenangkan pertempuran tanpa bala tentara dan mengalahkan lawan tanpa merendahkan martabatnya. Filosofi ini dapat diterapkan di politik, bisnis, dan bahkan dalam kehidupan pribadi, dengan tetap menghargai harkat dan martabat semua pihak.
Ajaran luhur para filsuf Jawa juga selaras dengan prinsip Sun Tzu, yaitu:
Den Ajembar: Membuka hati dan pikiran untuk menerima kritik dan masukan.
Den Momot: Mampu menampung segala keluh kesah dan aspirasi.
Lawan Den Wengku: Melawan ego dan kepentingan pribadi demi kepentingan masyarakat dan bangsa.
Den Koyo Segoro: Memiliki wawasan dan kesadaran seluas samudera untuk bekal kepemimpinan.
Oleh: Agus Widjajanto, Praktisi Hukum dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya, Hukum, Politik, dan Sejarah Bangsa.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano