Jakarta, Aktual.com — Pilkada Serentak 2015 dalam hitungan hari. Seluruh calon kepala daerah bersama partai politik pengusungnya jauh-jauh hari sudah disibukkan dengan berbagai strategi pemenangan. Strategi yang bisa jadi akan memakan biaya yang sangat tinggi.

“Solusi bagi persoalan ini adalah proses pemenangan politik harus melibatkan data. Data bukan sekedar data, melainkan data yang bisa langsung dimanfaatkan untuk menyusun strategi,” ucap Chief Data Evangelist Sinyal Sosial, Pangeran Siahaan, dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (19/11).

Diskusi yang mengambil tema ‘Memangkas Ongkos Politik dengan Kekuatan Data’ menghadirkan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, politisi Nasdem Willy Aditya dan Ketua DPP Pemuda Perindo Effendi Syahputra.
Data yang banyak beredar, kata dia, belum tentu bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Misal data mengenai popularitas dan elektabilitas calon kepala daerah dalam suatu wilayah.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut ongkos politik di Indonesia masih terlalu tinggi. Sebab itu ketika seseorang sudah berhasil meraih kekuasaan cenderung melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

“Ketika dia sudah berkuasa, orang akan berusaha mendapatkan uangnya kembali. Melihat kasus korupsi yang ada, pasti selalu berkaitan dengan partai politiknya,” ucap dia.

Ia mengistilahkan orang yang terjun di dunia politik, layaknya menanam uang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Ketika berhasil meraih kekuasaan, mereka lantas melakukan tindak pidana korupsi kebijakan dan bermain proyek-proyek tertentu.

“Ini memang gagalnya rekutmen yang dilakukan parpol. Rekrutmen instan, karena banyak kandidat mengeluarkan uang untuk menang, sistem politik mahal, sitem pemilu mahal,” kata Titi.

Sementara itu Ketua DPP Pemuda Perindo, Effendi Syahputra menilai tindak pidana korupsi dalam kancah politik tidak dapat dicegah oleh partai itu sendiri. Sebab dijelaskannya, partai tidak mungkin mengawasi setiap kader.

“Sekuat apapun partai memagari korupsi itu tidak mungkin tidak terjadi. Kita juga tidak mungkin mengawasi satu persatu kader,” tukasnya.

Artikel ini ditulis oleh: