Tak pelak lagi dalam tubuh Partai Golkar saat ini sedang dalam keadaan genting. Bukan karena krisis kepemimpinan, karena pola kepemimpinan Partai beringin itu bersifat kolektif dan tidak bertumpu pada kepemimpinan tunggal ala PDIP. Golkar dalam situasi genting, karena di saat yang krusial menyusul terjeratnya Setya Novanto dalam mega korupsi E-KTP, tidak bisa menentukan nasibnya sendiri karena sangat ditentukan oleh dua aktor kunci kepolitikan Indonesia sekarang. Presiden Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly.
Beberapa sumber informasi hari ini mewartakan isyarat yang disampaikan Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakri, bahwa kepengurusan Golkar di bawah pimpinan Setnov tetap jalan seperti biasa. Berarti Ical mewakili spectrum di dalam tubuh Golkar yang tidak menghendaki diselenggarakannya Munas Luar Biasa.
Isyarat yang dilontarkan Ical Bakri yang sebelum Setnov sempat menjadi Ketua Umum Golkar itu, menggambarkan adanya pertarungan dua skenario pasca Setnov di internal Golkar. Skenario pertama, Setnov dikorbankan dan tentunya disingkirkan dari tampuk pimpinan tertinggi partai, namun konfigurasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) hasil munas yang kala itu menghantarkan Setnov jadi Ketua Umum partai, tetap dipertahankan.
Skenario kedua, para pucuk pimpinan Golkar memutuskan menyelenggarakan Munas Luar Biasa, yang tentunya selain menggusur Setnov selaku Ketua Umum partai, juga memunculkan konfigurasi kekuatan politik baru
Sayangnya, dalam situasi krusial ketika dihadapkan pada dua pilihan skenario tersebut, Golkar sama sekali tidak bisa memutuskan dirinya sendiri terkait masa depan partainya, khususnya terkait pertarungan kekuasaan jelang pemilu 2019.
Maka itu, para pemain kunci di luar lingkaran kepemimpinan Golkar dalam situasi genting dan krusial ini, bukanlah Luhut Binsar Panjaitan maupun Wapres Jusuf Kalla. Meskipun saat ini kedua sosok tersebut cukup berpengaruh di dalam internal Golkar. Disinilah peran sentral dua tokoh kunci, Presiden Jokowi dan Menteri Kehakiman Laoly. Apakah keduanya secara tersurat maupun tersirat, mendukung diselenggarakannya Munaslub Golkar. Ataukah tetap menggiring Golkar agar tetap mempertahankan konfugurasi politik DPP Golkar hasil Munas yang menghantarkan Setnov jadi Ketua Umum Golkar. Sehingga lJokowi lebih mendorong memunculkan Pelaksana Harian Ketua Umum Golkar.
Mau tidak mau, kita harus membaca perhitungan politik Jokowi, untuk memprediksi opsi skenario yang yang diambil. Pada tataran ini, apakah Jokowi lebih aman dengan mempertahankan konfigurasi politik baru minus Setnov? Ataukah Jokowi lebih suka mendorong Munaslub sehingga lahir rejim baru di dalam Golkar melalui Munaslub?
Peluangnya masih sama kuat. Tergantung dinamika yang berkembang di internal partai beringin maupun kesepakatan strategis di antara tiga pentolan Golkar yang saat ini masuk kategori God Father. Ginandjar Kartasasmita, Wapres Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung. Kesepakatan strategis ketiga pentolan Golkar tersebut dan sikpa politik Jokowi, inilah yang jadi dasar pilihan opsi skenario tersebut akhirnya dipilih.
Lepas dari dua opsi tersebut, kalau saya boleh menebak, ketiga God Father Golkar itu kiranya akan bersepakat pada satu sosok: Ir Erlangga Hatarto, mantan Ketua Senat Fakultaas Teknik UGM. Yang mana tentunya akan membuat ring satu Jokowi seperti Pratikno dan Pramono Anung, cukup nyaman.
Erlangga, atau kerap disapa kawan karibnya Gagak, merupakan kawan satu angkatan dengan Pratikno dan berasal dari satu almameter, sehingga komunikasi politik bisa sangat baik dan lancar. Bagi ring satu Golkar, Ginandjar Kartasasmita barang tentu sangat merestui Erlangga mengingat sejarah hubungan akrab antara Ginandjar dan alm Hatarto semasa sama-sama jadi menteri di era pemerintahan Suharto.
Maka baik melalui skenario mempertahankan DPP Golkar minus Setnov atau menggelar Munaslub, Erlangga tetap akan jadi the leading actor. Mempertahankan DPP lama minus Setnov, berarti Erlangga jadi pelaksana harian Ketua Umum partai. Melalui Munaslub, Erlangga pastinya akan terpilih sebagai Ketua Umum baru partai pohon beringin. Masalah jadi krusial dan bisa jadi akan penuh komplikasi, ketika skenario Munaslub yang akan jadi pilihan.
Masalah bakal krusial bukan pada diri Erlangga pribadi, melainkan konfigurasi politik baru yang jadi dasar terpilihnya Erlangga sebagai Ketua Umum Golkar. Karena hal ini menyangkut bagaimana mengakomodasi berbagai kepentingan para elit Golkar baik di pusat maupun daerah.
Sebab baik Akbar Tanjung, Jusuf Kalla maupun Ginandjar sebagai lokomotif partai, sama-sama punya gerbong yang bukan saja sarat penumpang, melainkan juga sarat rupa-rupa agenda khusus sendiri-sendiri yang harus sama-sama dipayungi dalam tubuh Partai Golkar. Dan direkatkan melalui pola kepemimpinan bersama, yang terpancar melalui konfigurasi kekuatan politik baru pasca Munaslub.
Adapun ketika para pentolan Golkar yang mengerucut pada tiga tokoh sentral tadi akhirnya lebih memilih untuk tetap mempertahankan konfigurasi kekuatan politik DPP hasil munas sebelumnya, pada perkembangannya akan memicu ketegangan politik karena ada banyak faksi politik di Golkar yang saat ini merasa tidak terakomodasi di dalam tubuh DPP Golkar pimpinan Setya Novanto.
Di sini, Jokowi dan ring satu istana juga menyadari betul berbagai komplikasi yang mungkin bakal muncul ke depan, atas apapun opsi skenario yang dipilih menyusul tertangkapnya Setnov terkait mega korupsi E-KTP. Opsi mempertahankan DPP Golkar lama minus Setnov, maupun melalui Munaslub, memang sama beresikonya bagi pemerintahan Jokowi.
Hasil Munaslub yang bermuara pada munculnya rejim baru di Golkar, bisa menguntungkan bisa juga merugikan bagi Jokowi. Melalu skenario mempertahankan DPP lama minus Setnov, juga tidak kalah runyamnya. Sebab instabilitas politik yang meluas dan mengembang eskalasinya di internal Golkar, pada perkembangannya juga bisa menciptakan aksi destabilisais terhadap pemerintahan Jokowi. Mengingat begitu mengakar dan luasnya jaringan sumberdaya manusia dan kader Golkar baik yang berkiprah di dunia bisnis, birokrasi, berbagai organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, maupun dari kalangan keluarga besar TNI dan Polri.
Apapun pilihannya ibarat buah simalaklama. Kalau nggak si bapak mati ya ibunya yang mati.
Hendrajit, Redaktur Senior