Jakarta, Aktual.com – Secara dialektis, saya yakin di NU sekarang sedang terjadi perang batin, sehubungan dengan makin maraknya gelombang Aksi Bela Rasa masyarakat terhadap pernyataan Pak Gubernur DKI Jakarta di Pulau Seribu.

Ada satu natur dan kultur di NU yang sudah banyak diketahui namun seringkali diremehkan banyak kalangan pengamat. Bahwa ketika pada tahapan tertentu dihadapkan pilihan mana yang manfaat dan mana yang mudharat, NU selalu berpihak pada yang membawa manfaat.

Meskipun organ resmi NU yang berwenang memberikan fatwa belum bersuara, namun grengseng untuk menata ulang penyikapan terkait kasus Ahok, nampaknya hanya soal waktu dan mencari momentum yang pas.

Kalau kita melihat perilaku dua organ politik berbasis NU, PPP dan PKB, yang merapat ke Agus-Silvi, bisa saja sekarang kita baca sekadar sebagai pragmatisme politik. Mengingat kedua organ politik NU itu didominasi oleh cara pandang dan kalkulasi politik para politisi yang kebetulan berasal dari warga NU.

Namun, justru karena watak pragmatisme para politisi NU yang justru merapat ke Agus-Silvi itulah, kita jadi menangkap pertanda atau isyarat bahwa merapat ke Ahok sekarang ibarat pegang “bola panas.”

Mengingat kecenderungan dan watak pragmatisme politik safety player para politisi itu biasanya punya naluri kapan ada bahaya dan kapan situasi itu aman-aman saja, secara logika pastinya para politisi PKB dan PPP akan jauh lebih pas gabung dengan ketiga partai pengusung Ahok(Golkar, PDIP, Nasdem dan Hanura). Kalau nalurinya mengatakan situasi aman aman saja, normal normal saja.

Jadi kalau faktanya kemudian kedua partai berbasis NU itu lebih memilih merapat ke kubu Cikeas, berarti ada dirasa sesuatu yang tidak bisa dikatakan situasi aman aman saja, atau normal normal saja. Sehingga, sudah jadi watak para politisi pragmatis untuk lebih memilih yang lebih kecil resiko dan bahayanya.

Namun lepas dari saya pribadi tidak suka dengan watak pragmatisme para politisi partai manapun juga, namun kadang kita juga harus akui bahwa perilaku para politisi pragmatis sangat berguna dan menolong kita untuk membaca kondisi obyektif bangsa yang sesungguhnya sedang terjadi saat ini.

Sinyalemen saya ini semakin menguat, ketika beberapa hari lalu KH Hasyim Muxzadi, mantan Ketua Umum PBNU, melakukan otokrotik yang sangat konstruktif bagi internal NU beserta segenap organ-organ pendukungnya. Seperti isyarat yang beliau sampaikan, bahwa saat ini ada kecenderungan para politisi yang justru menyetir NU dan bahkan menyetir para ulama.

Mungkin NU harus bisa hadirkan kembali pemain-pemain politik berkelas seperti Wahid Hasyim, KH Idham Kholid, Syaifuddin Zuhri, Subhan SE, dan Mahbub Junaidi hingga Abdurrahman Wahid.

Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya dengan penuh rasa mawasdiri ke dalam dan ke luar. Tetaplah berpikir merdeka.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit